Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Para pengunjung rumaysho.com yang semoga selalu
dirahmati oleh Allah Ta’ala. Kita tahu bersama bahwa zakat adalah bagian dari
rukun Islam. Orang yang sudah berkecukupan dan memiliki kelebihan harta dan
memenuhi syarat dikenai kewajiban zakat, sudah seharusnya menjalankan rukun
Islam yang satu ini. Namun tidak sedikit yang lalai dari kewajiban harta yang ia
miliki. Sudah seharusnya kita mengetahui tentang ketentuan syariat Islam
mengenai zakat. Sehingga bisa mendatangkan keberkahan bagi harta kita. Semoga
pembahasan rumaysho.com mengenai zakat dapat bermanfaat bagi kaum muslimin
sekalian.
Zakat secara bahasa berarti tumbuh. Selain itu
zakat berarti mensucikan.
Adapun pengertian zakat secara istilah syar’i
berkaitan erat dengan dua pengertian di atas. Apabila zakat berarti tumbuh, maka
ini menunjukkan bahwa jika zakat tersebut dikeluarkan dari harta, maka harta
tersebut akan semakin berkembang. Atau hal ini dapat bermakna pula bahwa zakat
akan semakin memperbanyak pahala kebaikan seseorang. Atau dapat bermakna pula
bahwa zakat itu ada pada harta yang berkembang saja seperti pada harta
perdagangan dan pertanian. Adapun jika zakat berarti mensucikan, ini berarti
zakat dapat menyucikan jiwa dari sifat pelit dan dapat menyucikan dari berbagai
dosa. Demikian penjelasan yang penulis sarikan dari keterangan Ibnu Hajar dalam
Al Fath.[1]
Intinya, pengertian zakat secara istilah, adalah
penunaian kewajiban pada harta yang khusus, dalam bentuk yang khusus, dan
disyaratkan ketika dikeluarkan telah memenuhi haul (masa satu tahun) dan nishob
(ukuran minimal dikenai kewajiban zakat). Zakat pun kadang dimaksudkan untuk
harta yang dikeluarkan. Sedangkan muzakki adalah istilah untuk orang yang
memiliki harta dan mengeluarkan zakatnya.[2]
Zakat merupakan bagian dari rukun Islam, yaitu
termasuk rukun Islam yang ketiga. Islam biasa diibaratkan dalam beberapa hadits
dengan bangunan. Ini menunjukkan bahwa Islam itu bisa berdiri jika ada
penegaknya. Dan di antara penegaknya adalah zakat. Itu berarti jika zakat itu
tidak ada, maka bisa robohlah bangunan Islam tersebut. Dari Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
بُنِىَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ
لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ ، وَإِقَامِ
الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَالْحَجِّ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ
“Islam dibangun di atas lima perkara: bersaksi
bahwa tidak ada ilah (sesembahan) yang berhak disembah melainkan Allah dan
Muhammad adalah utusan-Nya; menegakkan shalat; menunaikan zakat; menunaikan
haji; dan berpuasa di bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari no. 8 dan Muslim no. 16)
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah berkata,
“Zakat adalah suatu kepastian dalam syari'at Islam, sehingga tidak perlu lagi
kita bersusah payah mendatangkan dalil-dalil untuk membuktikannya. Para ulama
hanya berselisih pendapat dalam hal perinciannya. Adapun hukum asalnya telah
disepakati bahwa zakat itu wajib, sehingga barang siapa yang mengingkarinya, ia
menjadi kafir.”[3]
Perlu diketahui bahwa istilah zakat dan sedekah
dalam syari'at Islam memiliki makna yang sama. Keduanya terbagi menjadi dua: (1)
wajib, dan (2) sunnah. Adapun anggapan sebagian masyarakat bahwa zakat adalah
yang hukum, sedangkan sedekah adalah yang sunnah, maka itu adalah anggapan yang
tidak berdasarkan kepada dalil yang benar nan kuat.
Ibnul ‘Arobi rahimahullah mengatakan, “Zakat itu
digunakan untuk istilah sedekah yang wajib, yang sunnah, untuk nafkah, kewajiban
dan pemaafan.”[4]
Syarat-Syarat Zakat
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam
masalah kewajiban zakat. Syarat tersebut ada yang berkaitan dengan muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat) dan ada yang berkaitan dengan harta.
Syarat pertama, berkaitan dengan muzakki (orang
yang mengeluarkan zakat): (1) islam, dan (2) merdeka. [5]
Adapun anak kecil dan orang gila –jika memiliki
harta dan memenuhi syarat-syaratnya- masih tetap dikenai zakat yang nanti akan
dikeluarkan oleh walinya. Pendapat ini adalah pendapat terkuat dan dipilih oleh
mayoritas ulama.[6]
Syarat kedua, berkaitan dengan harta yang
dikeluarkan: (1) harta tersebut dimiliki secara sempurna, (2) harta tersebut
adalah harta yang berkembang, (3) harta tersebut telah mencapai nishob, (4)
telah mencapai haul (harta tersebut bertahan selama setahun), (5) harta tersebut
merupakan kelebihan dari kebutuhan pokoknya.[7]
Berikut rincian dari syarat yang berkaitan dengan
harta.
(1) Dimiliki secara sempurna.
Pemilik harta yang hakiki sebenarnya adalah Allah
Ta’ala sebagaimana disebutkan dalam sebuah ayat,
آَمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَأَنْفِقُوا
مِمَّا جَعَلَكُمْ مُسْتَخْلَفِينَ فِيهِ فَالَّذِينَ آَمَنُوا مِنْكُمْ
وَأَنْفَقُوا لَهُمْ أَجْرٌ كَبِيرٌ
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan
nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu
menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan
(sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar.” (QS. Al Hadiid: 7) Al
Qurthubi menjelaskan, “Ayat ini merupakan dalil bahwa pada hakekatnya harta
adalah milik Allah. Hamba tidaklah memiliki apa-apa melainkan apa yang Allah
ridhoi. Siapa saja yang menginfakkan hartanya pada jalan Allah sebagaimana
halnya seseorang yang mengeluarkan harta orang lain dengan seizinnya, maka ia
akan mendapatkan pahala yang melimpah dan amat banyak.”[8]
Harta yang hakikatnya milik Allah ini telah
dikuasakan pada manusia. Jadi manusia yang diberi harta saat ini dianggap
sebagai pemegang amanat harta yang hakikatnya milik Allah.
Sedangkan yang dimaksud dengan syarat di sini
adalah harta tersebut adalah milik di tangan individu dan tidak berkaitan dengan
hak orang lain, atau harta tersebut disalurkan atas pilihannya sendiri dan
faedah dari harta tersebut dapat ia peroleh.[9]
Dari sini, apakah piutang itu terkena zakat?
Pendapat yang benar dalam hal ini, piutang bisa dirinci menjadi dua macam:
Piutang yang sulit diharapkan untuk dilunasi
karena diutangkan pada orang yang sulit dalam melunasinya. Piutang seperti ini
tidak dikenai zakat sampai piutang tersebut dilunasi.[10]
(2) Termasuk harta yang berkembang.
Yang dimaksudkan di sini adalah harta tersebut
mendatangkan keuntungan dan manfaat bagi si empunya atau harta itu sendiri
berkembang dengan sendirinya. Oleh karena itu, para ulama membagi harta yang
berkembang menjadi dua macam: (a) harta yang berkembang secara hakiki
(kuantitas), seperti harta perdagangan dan hewan ternah hasil perkembangbiakan,
(b) harta yang berkembang secara takdiri (kualitas).
Dalil dari syarat ini adalah sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ عَلَى الْمُسْلِمِ صَدَقَةٌ فِى عَبْدِهِ
وَلاَ فَرَسِهِ
“Seorang muslim tidak dikenai kewajiban zakat
pada budak dan kudanya.” (HR. Bukhari no. 1464)
Dari sini, maka tidak ada zakat pada harta yang
disimpan untuk kebutuhan pokok semisal makanan yang disimpan, kendaraan, dan
rumah.[11]
(3) Telah mencapai nishob.
Nishob adalah ukuran minimal suatu harta dikenai
zakat. Untuk masing-masing harta yang dikenai zakat, ini akan ukuran nishob
masing-masing yang nanti akan dijelaskan.
(4) Telah mencapai haul.
Artinya harta yang dikenai zakat telah mencapai
masa satu tahun atau 12 bulan Hijriyah. Syarat ini berlaku bagi zakat pada mata
uang dan hewan ternak. Sedangkan untuk zakat hasil pertanian tidak ada syarat
haul, namun zakat dari pertanian dikeluarkan setiap kali panen.[12]
(5) Kelebihan dari kebutuhan pokok.
Harta yang merupakan kelebihan dari kebutuhan
pokok, itulah sebagai barometer seseorang itu dianggap mampu atau berkecukupan.
Sedangkan harta yang masih dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok, maka
seperti ini dikatakan tidak mampu. Para ulama menjelaskan bahwa yang dimaksud
dengan kebutuhan pokok adalah apabila kebutuhan tersebut dikeluarkan, maka
seseorang bisa jadi akan celaka, seperti nafkah, tempat tinggal, dan pakaian.
[13]
Harta yang Dikenai Zakat
Beberapa harta yang para ulama sepakat wajib
dikenai zakat adalah:
Emas dan perak (mata uang).
Hewan ternak (unta, sapi, dan kambing).
Pertanian dan buah-buahan (gandum, kurma, dan
anggur).
Yang akan dibahas pada kesempatan selanjutnya
secara khusus adalah mengenai zakat emas, perak dan mata uang. Semoga Allah
mudahkan.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat.
Finished in Pangukan-Sleman, Sya’ban, 11st 1431
H
Author: Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, Asy
Syamilah.
Az Zakat wa Tathbiqotuhaa Al Mu’ashiroh, Dr.
‘Abdullah bin Muhammad bin Ahmad Ath Thoyar, Darul Wathon, cetakan ketiga, 1415
H.
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, Darul
Ma’rifah, 1379.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As Sayid
Salim, Al Maktabah At Taufiqiyah.
Tafsir Al Qurthubi, Muhammad bin Ahmad Al Anshori
Al Qurthubi, Mawqi’ Ya’sub.
[1] Lihat Fathul Bari, 3/262.
[2] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8156.
[3] Fathul Bari, 3/262.
[4] Lihat Fathul Bari, 3/262
[5] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/11-12.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/12-13 dan Az
Zakat, 64-66.
[7] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/13 dan Az Zakat,
63.
[8] Tafsir Al Qurthubi, 17/238
[9] Lihat Az Zakat, 67.
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/14-15.
[11] Lihat Az Zakat, 69-70.
[12] Lihat Az Zakat, 70-71.
[13] Lihat Az Zakat, 71-72.
No comments:
Post a Comment