Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.
Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Dalam dua artikel sebelumnya kami telah membahas
syarat-syarat zakat dan panduan zakat emas, perak dan mata uang. Pada kesempatan
kali ini kami akan membahas tema menarik lainnya tentang zakat yaitu golongan
yang berhak menerima zakat. Semoga bermanfaat.
Golongan yang berhak menerima zakat adalah 8
golongan yang telah ditegaskan dalam Al Qur’an Al Karim pada ayat berikut,
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk [1]
orang-orang fakir, [2] orang-orang miskin, [3] amil zakat, [4] para mu'allaf
yang dibujuk hatinya, [5] untuk (memerdekakan) budak, [6] orang-orang yang
terlilit utang, [7] untuk jalan Allah dan [8] untuk mereka yang sedang dalam
perjalanan.” (QS. At Taubah: 60) Ayat ini dengan jelas menggunakan kata
“innama”, ini menunjukkan bahwa zakat hanya diberikan untuk delapan golongan
tersebut, tidak untuk yang lainnya.[1]
Golongan pertama dan kedua: fakir dan miskin.
Fakir dan miskin adalah golongan yang tidak
mendapati sesuatu yang mencukupi kebutuhan mereka.
Para ulama berselisih pendapat manakah yang
kondisinya lebih susah antara fakir dan miskin. Ulama Syafi’iyah dan Hambali
berpendapat bahwa fakir itu lebih susah dari miskin. Alasan mereka karena dalam
ayat ini, Allah menyebut fakir lebih dulu baru miskin.
Ulama lainnya berpendapat
miskin lebih parah dari fakir.[2]
Adapun batasan dikatakan fakir menurut ulama
Syafi’iyah dan Malikiyah adalah orang yang tidak punya harta dan usaha yang
dapat memenuhi kebutuhannya. Seperti kebutuhannya, misal sepuluh ribu rupiah
tiap harinya, namun ia sama sekali tidak bisa memenuhi kebutuhan tersebut atau
ia hanya dapat memenuhi kebutuhannya kurang dari separuh. Sedangkan miskin
adalah orang yang hanya dapat mencukupi separuh atau lebih dari separuh
kebutuhannya, namun tidak bisa memenuhi seluruhnya.[3]
Orang yang berkecukupan tidak boleh diberi
zakat
Orang yang berkecukupan sama sekali tidak boleh
diberi zakat, inilah yang disepakati oleh para ulama. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ
“Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang yang
berkecukupan.”[4]
Apa standarnya orang kaya yang tidak boleh
mengambil zakat?
Standarnya, ia memiliki kecukupan ataukah tidak.
Jika ia memiliki harta yang mencukupi diri dan orang-orang yang ia tanggung,
maka tidak halal zakat untuk dirinya. Namun jika tidak memiliki kecukupan
walaupun hartanya mencapai nishob, maka ia halal untuk mendapati zakat. Oleh
karena itu, boleh jadi orang yang wajib zakat karena hartanya telah mencapai
nishob, ia sekaligus berhak menerima zakat. Demikian pendapat mayoritas ulama
yaitu ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam
Ahmad.[5]
Apa standar kecukupan?
Kecukupan yang dimaksud adalah kecukupan pada
makan, minum, tempat tinggal, juga segala yang mesti ia penuhi tanpa bersifat
boros atau tanpa keterbatasan. Kebutuhan yang dimaksud di sini adalah baik
kebutuhan dirinya sendiri atau orang-orang yang ia tanggung nafkahnya. Inilah
pendapat mayoritas ulama.[6]
Bolehkah memberi zakat kepada fakir miskin yang
mampu mencari nafkah?
Jika fakir dan miskin mampu bekerja dan mampu
memenuhi kebutuhannya serta orang-orang yang ia tanggung atau memenuhi
kebutuhannya secara sempurna, maka ia sama sekali tidak boleh mengambil zakat.
Alasannya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ حَظَّ فِيهَا لَغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى مِرَّةٍ
مُكْتَسِبٍ
““Tidak ada satu pun bagian zakat untuk orang
yang berkecukupan dan tidak pula bagi orang yang kuat untuk bekerja.”[7]
Dalam hadits yang lain, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ وَلاَ لِذِى
مِرَّةٍ سَوِىٍّ
“Tidak halal zakat bagi orang yang berkecukupan,
tidak pula bagi orang yang kuat lagi fisiknya sempurna (artinya: mampu untuk
bekerja, pen)”[8]
Berapa kadar zakat yang diberikan kepada fakir
dan miskin?
Besar zakat yang diberikan kepada fakir dan
miskin adalah sebesar kebutuhan yang mencukupi kebutuhan mereka dan orang yang
mereka tanggung dalam setahun dan tidak boleh ditambah lebih daripada itu. Yang
jadi patokan di sini adalah satu tahun karena umumnya zakat dikeluarkan setiap
tahun. Alasan lainnya adalah bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
menyimpan kebutuhan makanan keluarga beliau untuk setahun. Barangkali pula
jumlah yang diberikan bisa mencapai ukuran nishob zakat.
Jika fakir dan miskin memiliki harta yang
mencukupi sebagian kebutuhannya namun belum seluruhnya terpenuhi, maka ia bisa
mendapat jatah zakat untuk memenuhi kebutuhannya yang kurang dalam
setahun.[9]
Golongan ketiga: amil zakat.
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk
miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat disebabkan pekerjaannya. Dalam
sebuah hadits disebutkan,
لاَ تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لِغَنِىٍّ إِلاَّ
لِخَمْسَةٍ لِغَازٍ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ لِعَامِلٍ عَلَيْهَا أَوْ لِغَارِمٍ
أَوْ لِرَجُلٍ اشْتَرَاهَا بِمَالِهِ أَوْ لِرَجُلٍ كَانَ لَهُ جَارٌ مِسْكِينٌ
فَتُصُدِّقَ عَلَى الْمِسْكِينِ فَأَهْدَاهَا الْمِسْكِينُ لِلْغَنِىِّ
“Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi
lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau
orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau
orang yang memiliki tetangga miskin kemudian orang miskin tersebut diberi zakat,
lalu ia memberikannya kepada orang yang kaya.”[10]
Ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah mengatakan bahwa
imam (penguasa) akan memberikan pada amil zakat upah yang jelas, boleh jadi
dilihat dari lamanya ia bekerja atau dilihat dari pekerjaan yang ia
lakukan.[11]
Siapakah Amil Zakat?
Sayid Sabiq mengatakan, “Amil zakat adalah
orang-orang yang diangkat oleh penguasa atau wakil penguasa untuk bekerja
mengumpulkan zakat dari orang-orang kaya. Termasuk amil zakat adalah orang yang
bertugas menjaga harta zakat, penggembala hewan ternak zakat dan juru tulis yang
bekerja di kantor amil zakat.”[12]
‘Adil bin Yusuf al ‘Azazi berkata, “Yang dimaksud
dengan amil zakat adalah para petugas yang dikirim oleh penguasa untuk
mengunpulkan zakat dari orang-orang yang berkewajiban membayar zakat. Demikian
pula termasuk amil adalah orang-orang yang menjaga harta zakat serta orang-orang
yang membagi dan mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak
menerimanya. Mereka itulah yang berhak diberi zakat meski sebenarnya mereka
adalah orang-orang yang kaya.”[13]
Syeikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
mengatakan, “Golongan ketiga yang berhak mendapatkan zakat adalah amil zakat.
Amil zakat adalah orang-orang yang diangkat oleh penguasa untuk mengambil zakat
dari orang-orang yang berkewajiban untuk menunaikannya lalu menjaga dan
mendistribusikannya. Mereka diberi zakat sesuai dengan kadar kerja mereka meski
mereka sebenarnya adalah orang-orang yang kaya. Sedangkan orang biasa yang
menjadi wakil orang yang berzakat untuk mendistribusikan zakatnya bukanlah
termasuk amil zakat. Sehingga mereka tidak berhak mendapatkan harta zakat
sedikitpun disebabkan status mereka sebagai wakil. Akan tetapi jika mereka
dengan penuh kerelaan hati mendistribusikan zakat kepada orang-orang yang berhak
menerimanya dengan penuh amanah dan kesungguhan maka mereka turut mendapatkan
pahala. Namun jika mereka meminta upah karena telah mendistribusikan zakat maka
orang yang berzakat berkewajiban memberinya upah dari hartanya yang lain bukan
dari zakat.”[14]
Berdasarkan paparan di atas jelaslah bahwa syarat
agar bisa disebut sebagai amil zakat adalah diangkat dan diberi otoritas oleh
penguasa muslim untuk mengambil zakat dan mendistribusikannya sehingga
panitia-panitia zakat yang ada di berbagai masjid serta orang-orang yang
mengangkat dirinya sebagai amil bukanlah amil secara syar’i. Hal ini sesuai
dengan istilah amil karena yang disebut amil adalah pekerja yang dipekerjakan
oleh pihak tertentu.
Memiliki otoritas untuk mengambil dan
mengumpulkan zakat adalah sebuah keniscayaan bagi amil karena amil memiliki
kewajiban untuk mengambil zakat secara paksa dari orang-orang yang menolak untuk
membayar zakat.
Golongan keempat: orang yang ingin dilembutkan
hatinya.
Orang yang ingin dilembutkan hatinya. Bisa jadi
golongan ini adalah muslim dan kafir.
Contoh dari kalangan muslim:
Orang yang lemah imannya namun ditaati kaumnya.
Ia diberi zakat untuk menguatkan imannya.
Pemimpin di kaumnya, lantas masuk Islam. Ia
diberi zakat untuk mendorong orang kafir semisalnya agar tertarik pula untuk
masuk Islam.
Contoh dari kalangan kafir:
Orang kafir yang sedang tertarik pada Islam. Ia
diberi zakat supaya condong untuk masuk Islam.
Orang kafir yang ditakutkan akan bahayanya. Ia
diberikan zakat agar menahan diri dari mengganggu kaum muslimin.[15]
Golongan kelima: pembebasan budak.
Pembebasan budak yang termasuk di sini adalah:
(1) pembebasan budak mukatab, yaitu yang berjanji pada tuannya ingin merdeka
dengan melunasi pembayaran tertentu, (2) pembebasan budak muslim, (3) pembebasan
tawanan muslim yang ada di tangan orang kafir.[16]
Golongan keenam: orang yang terlilit utang.
Yang termasuk dalam golongan ini adalah:
Pertama: Orang yang terlilit utang demi
kemaslahatan dirinya.
Namun ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi:
Yang berutang adalah seorang muslim.
Bukan termasuk ahlu bait (keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).
Bukan orang yang bersengaja berutang untuk
mendapatkan zakat.
Utang tersebut membuat ia dipenjara.
Utang tersebut mesti dilunasi saat itu juga,
bukan utang yang masih tertunda untuk dilunasi beberapa tahun lagi kecuali jika
utang tersebut mesti dilunasi di tahun itu, maka ia diberikan zakat.
Bukan orang yang masih memiliki harta simpanan
(seperti rumah) untuk melunasi utangnya.
Kedua: Orang yang terlilit utang karena untuk
memperbaiki hubungan orang lain. Artinya, ia berutang bukan untuk kepentingan
dirinya, namun untuk kepentingan orang lain. Dalil dari hal ini sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya permintaan itu tidak halal kecuali
bagi tiga orang; yaitu orang laki-laki yang mempunyai tanggungan bagi kaumnya,
lalu ia meminta-minta hingga ia dapat menyelesaikan tanggungannya, setelah itu
ia berhenti (untuk meminta-minta).”[17]
Ketiga: Orang yang berutang karena sebab dhoman
(menanggung sebagai jaminan utang orang lain). Namun di sini disyaratkan orang
yang menjamin utang dan yang dijamin utang sama-sama orang yang sulit dalam
melunasi utang.[18]
Golongan ketujuh: di jalan Allah.
Yang termasuk di sini adalah:
Pertama: Berperang di jalan Allah.
Menurut mayoritas ulama, tidak disyaratkan
miskin. Orang kaya pun bisa diberi zakat dalam hal ini. Karena orang yang
berperang di jalan Allah tidak berjuang untuk kemaslahatan dirinya saja, namun
juga untuk kemaslahatan seluruh kaum muslimin. Sehingga tidak perlu disyaratkan
fakir atau miskin.
Kedua: Untuk kemaslahatan perang.
Seperti untuk pembangunan benteng pertahanan,
penyediaan kendaraan perang, penyediaan persenjataan, pemberian upah pada
mata-mata baik muslim atau kafir yang bertugas untuk memata-matai musuh.[19]
Golongan kedelapan: ibnu sabil, yaitu orang yang
kehabisan bekal di perjalanan.
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang
tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan
perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila
memenuhi syarat: (1) muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam), (2) tidak memiliki harta pada saat itu sebagai
biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang
berkecukupan, (3) safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat.[20]
Memberi Zakat untuk Kepentingan Sosial dan kepada
Pak Kyai atau Guru Ngaji
Begitu pula tidak boleh menyerahkan zakat kepada
pak Kyai atau guru ngaji kecuali jika mereka termasuk dalam delapan golongan
penerima zakat yang disebutkan dalam surat At Taubah ayat 60.
Menyerahkan Zakat kepada Orang Muslim yang
Bermaksiat dan Ahlu Bid’ah
Orang yang menyandarkan diri pada Islam, ada
beberapa golongan:
Muslim yang taat dan menjalankan syariat Islam.
Maka tidak meragukan lagi bahwa golongan ini yang pantas diberikan zakat. Jadi
seharusnya zakat diserahkan pada orang yang benar-benar memperhatikan shalat dan
ibadah wajib lainnya.
Termasuk ahlu bid’ah dan bid’ahnya adalah bid’ah
yang sifatnya kafir. Orang seperti ini tidak boleh diberikan zakat pada dirinya.
Misalnya adalah bid’ah mengakui ada nabi ke-26.
Ahli bid’ah (yang sifatnya tidak kafir) dan ahli
maksiat. Jika diketahui dengan sangkaan kuat bahwa ia akan menggunakan zakat
tersebut untuk maksiat, maka tidak boleh memberikan zakat pada orang semacam
itu.[21]
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Sudah
seharusnya setiap orang memperhatikan orang-orang yang berhak mendapakan zakat
dari kalangan fakir, miskin, orang yang terlilit utang dan golongan lainnya.
Seharusnya yang dipilih untuk mendapatkan zakat adalah orang yang berpegang
teguh dengan syari’at. Jika nampak pada seseorang kebid’ahan atau kefasikan, ia
pantas untuk diboikot dan mendapatkan hukuman lainnya. Ia sudah pantas dimintai
taubat. Bagaimana mungkin ia ditolong dalam berbuat maksiat.”[22]
Bersambung insya Allah pada pembahasan “Memberi
Zakat kepada Kerabat”.
Diselesaikan di Panggang-GK, 24 Sya’ban 1431 H
(05/08/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, Asy
Syamilah, index “zakat”, point 156.
[2] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index
“zakat”, point 157.
[3] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8252, index
“zakat”, point 158.
[4] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[5] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8254, index
“zakat”, point 159.
[6] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8256, index
“zakat”, point 163.
[7] HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro, 6/351.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 876.
[8] HR. Abu Daud no. 1634, An Nasai no. 2597, At
Tirmidzi no. 652, Ibnu Majah no. 1839 dan Ahmad 2/164 . Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Al Irwa’ no. 877. Lihat Syarh Sunan
Ibni Majah, As Suyuthi dkk, Asy Syamilah 1/132.
[9] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8257, index
“zakat”, point 164.
[10] HR. Abu Daud no. 1635. Syaikh Al Albani
mengatakan hadits ini shahih
[11] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8258, index
“zakat”, point 168.
[12] Fiqh Sunnah, terbitan Dar al Fikr Beirut,
1/327.
[13] Tamamul Minnah fi Fiqh al Kitab wa Shahih al
Sunnah, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Qurthubah
Mesir, 2/290
[14] Majalis Syahri Ramadhan, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin, cet Darul Hadits Kairo, hal 163-164.
[15] Lihat Al Mughni, Ibnu Qudamah, Darul Fikr,
Beirut, 1405 H, 7/319
[16] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8260-8261,
index “zakat”, point 169.
[17] HR. An Nasai no. 2579 dan Ahmad 5/60. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[18] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8261-8262,
index “zakat”, point 170 dan 171.
[19] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8263, index
“zakat”, point 172 dan 173.
[21] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/76-77.
[22] Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul
Wafa’, 25/87.
No comments:
Post a Comment