Friday, April 10, 2015

Memetik Keuntungan dari Musibah

bismillah017a

Tiga bencana “besar” secara beruntun menghajar Indonesia. Gempa bumi, tsunami dan gunung meletus. Rasa pilu ini menambah sendu perasaan yang masih mengharu biru atas beberapa bencana “kecil” seperti banjir, tanah longsor dan tabrakan kereta api. Bencana ini telah merenggut ratusan nyawa dan menyapu harta benda dengan kerugian mencapai 11 digit dalam rupiah.
Namun saya percaya ada dua sisi dalam setiap masalah. Bila bencana itu telah menghadirkan kerugian, tentu kita juga bisa mencari keseimbangan dengan menarik kentungan darinya. Keuntungan apa itu ? Berikut ini beberapa di antaranya :

Penghapus Dosa

Musibah bisa menjadi alat penghapus dosa seseorang. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah. Tidak pula sakit, kegoncangan dan kegundahan serta kesedihan, sehingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosa darinya.” (HR. Bukhori-Muslim)
Tertusuk duri dianggap sebagai bencana yang paling ringan, karena bahkan kadang-kadang kita tidak menganggapnya sebagai bencana. Namun ternyata musibah kecil ini bisa menghapus dosa yang pernah kita lakukan.

Mengangkat Derajat

Musibah bisa menjadi sarana untuk mengangkat derajat seseorang. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah akan memberinya musibah.” (HR. Bukhari)
Musibah itu sebagai tanda awal sebelum dilimpahkannya kebaikan bagi kita.

Sebagai Tanda Cinta

Musibah bisa jadi merupakan tanda cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seseorang. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka.” (Musnad Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany)
Kita tentu berharap Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji sambil memberi kekuatan untuk melewati ujian itu. Sehingga cinta yang sangat agung ini berada dalam benggaman.
Perlu saya ingatkan lagi bahwa keutamaan atau keuntungan itu mungkin tidak kita rasakan pada saat di dunia. Mungkin kita tetap hina dalam pandangan manusia. Tapi kita berharap mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menikmati hasilnya di akhirat kelak. Insya Allah.
Kemudian semua keutamaan ini bisa kita raih tentunya hanya bila kita bersikap dengan benar. Bila kita tertusuk duri lalu memaki, kelihatannya tidak akan menghapus dosa bahkan akan menambah dosa. Tidak menjadi utama bahkan semakin hina dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertanyaannya adalah, apa yang harus kita lakukan agar semua keuntungan itu bisa kita nikmati ? Satu hal yang ingin saya wasiatkan di sini adalah agar kita tetap SABAR dengan memenuhi persyaratannya, yaitu :

Syarat Pertama : Ikhlas karena Allah

Yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meniti kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik.” [QS. Ar-Ra'd : 22]

Syarat Kedua : Tidak mengeluh

Yaitu tidak mengeluhkan musibah kepada orang lain kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Allah berfirman : Apabila seorang mukmin diuji dan dia tidak mengeluhkan kepada pengunjungnya, maka Aku akan melepaskannya dari penjara-Ku (penyakit tersebut), kemudian Aku akan mengganti daging dan darahnya dengan daging dan darah yang lebih baik, kemudian dia mulai beramal lagi.” [HR. Hakim di Mustadrak : 1/349 dan dia mengatakan hadits ini shahih berdasarkan syarat-syarat shahihain, dan ini disetujui oleh Adz-Dzahabi]
Itulah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan janji-Nya pasti benar bila syaratnya terpenuhi.

Syarat Ketiga : Bersabar pada waktunya

Yaitu dia bersabar pada saat terkena benturan yang pertama bukan setelah berakhirnya waktu tersebut.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Hanyalah kesabaran itu pada benturan yang pertama kali.” [Muttafaqun 'alaih]
Maksudnya adalah kesabaran yang sempurna yang akan mendatangkan pahala yang berlimpah karena banyaknya kesulitan yang dihadapi.
Maaf nih, artikelnya jadi rada panjang, padahal saya sudah berusaha untuk meringkasnya. Bagi yang ingin mempelajari lebih mendalam bisa menyimak buku ini.
Hiburan untuk Saudaraku yang Sakit dan yang Tertimpa Musibah
Hiburan untuk Saudaraku yang Sakit dan yang Tertimpa Musibah
Semoga bisa dicermati dan diambil manfaatnya.

Saturday, April 4, 2015

Air yang Boleh Digunakan Bersuci

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu atau bersuci secara umum. Untuk berwudhu tentu saja memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu atau mandi besar? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat.
Ada Dua Macam Air
Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.
Pertama: Air Muthlaq
Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama.
Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?
Di sini ada dua rincian, yaitu:
1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.
2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel” (seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).
Kedua: Air Najis
Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa atau baunya.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya” adalah tambahan yang dho'if. Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat untuk berhukum dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang najis.” Ibnul Mulaqqin mengatakan, “Tiga pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang dho’if (lemah). Yang menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma’ (kesepakatan kaum muslimin) sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi, dll.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada nashnya.”[2]
Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk berwudhu.[3]
Bolehkah Air Musta'mal Digunakan untuk Bersuci?
Yang dimaksud air musta'mal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta'mal dengan air bekas wudhu.
Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.
Namun pendapat yang lebih kuat, air musta'mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh 'Ali bin Abi Tholib, Ibnu 'Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi'i dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[4]
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta'mal masih termasuk air yang suci:
Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al 'Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta'mal adalah air yang suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta'mal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta'mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi', ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari 'Abdullah bin 'Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu 'Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[12]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta'mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta'mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[14]
Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi'i dalam salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza'i dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta'mal.[15] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu a'lam.
Catatan: Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin 'Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari air bekar bersucinya wanita.”[16] Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa melalui jalan kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin 'Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu a'lam.[17]
Selanjutnya kita akan membahas permasahalan air dua qullah.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com
[1] HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9.
[2] Dinukil dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar
[3] Lihat penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/103-104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian seperti ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi' dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/104.
[5] HR. Bukhari no. 187.
[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma'rifah, Beirut.
[7] HR. Bukhari no. 189.
[8] Fathul Bari, 1/296.
[9] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] HR. Bukhari no. 194.
[11] HR. Bukhari no. 193.
[12] HR. Muslim no. 323.
[13] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi' Jaami' Al Hadits.
[14] Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa'.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/106.
[16] HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[17] Cara kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Sayid Sabiq-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah.

Thursday, April 2, 2015

Waktu Utama untuk Bersiwak

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Siwak adalah nama untuk sebuah kayu yang digunakan untuk menggosok gigi. Atau jika ditinjau dari perbuatannya, siwak adalah menggosok/membersihkan gigi dengan kayu atau sejenisnya untuk menghilangkan kuning dan kotoran gigi, dan juga untuk membersihkan mulut. (Lihat Taisirul ‘Alam, 35)

Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, ”Lebih baik lagi jika yang digunakan untuk menyikat gigi adalah kayu arak yang berasal dari negeri Hijaz, karena di antara khasiatnya yaitu : menguatkan gusi, menghindarkan sakit gigi, memudahkan pencernaan, dan melancarkan buang air kecil. Walaupun demikian, sunnah ini bisa didapatkan dengan segala sesuatu yang dapat menghilangkan kuning gigi dan membersihkan mulut, seperti sikat gigi, dan semacamnya.” (Fiqh Sunnah, I/45). Dan pendapat ini juga dipilih oleh penyusun Shohih Fiqh Sunnah. Wallahu a’lam.

Hukum Bersiwak
Bersiwak hukumnya sunnah (dianjurkan) pada setiap saat, sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” (Shohih, HR. An Nasa’i, Ahmad, dll)
Waktu Utama untuk Bersiwak
Pertama: Ketika berwudhu
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Bukhari)
Kedua: Ketika hendak shalat
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap hendak menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)
Ketiga: Ketika membaca Al Qur’an
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami diperintahkan (oleh Rasulullah) untuk bersiwak dan beliau bersabda,

إن العبد إذا قام يصلي أتاه الملك فقام خلفه يستمع القرآن ويدنو فلا يزال يستمع ويدنو حتى يضع فاه على فيه فلا يقرأ آية إلا كانت في جوف الملك
”Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak mendirikan shalat datanglah malaikat padanya. Kemudian malaikat itu berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaan Al-Qu’rannya, dan semakin mendekat padanya. Tidaklah dia berhenti dan mendekat sampai dia meletakkan mulutnya pada mulut hamba tadi. Tidaklah hamba tersebut membaca suatu ayat kecuali ayat tersebut masuk ke perut malaikat itu.” (HR. Baihaqi, shohih lighoirihi)
Keempat: Ketika memasuki rumah
Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dia berkata,

سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ.
Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Aisyah menjawab, “Bersiwak.” (HR. Muslim)
Kelima: Ketika bangun untuk shalat malam
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa apabila hendak shalat malam (tahajjud), beliau membersihkan mulutnya dengan siwak.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)
Cara Bersiwak
Cara bersiwak adalah dengan menggosokkan siwak di atas gigi dan gusinya. Di mulai dari sisi sebelah kanan dan sisi sebelah kiri. Dan memegang siwak dengan tangan kanan. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqhiyyah)
Bolehnya Bersiwak Ketika Berpuasa Baik Pagi Maupun Sore Hari
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Tuhanmu tidaklah lupa.” (Maryam : 64) (Lihat Tamamul Minnah dan Al Wajiz fii fiqh Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz)
Para pakar fiqih telah bersepakat tentang bolehnya bersiwak untuk orang yang berpuasa kecuali Syafi’iyah dan Hanabilah di mana mereka menganjurkan untuk meninggalkan bersiwak setelah waktu zawal (waktu matahari tergelincir ke barat). (Lihat Shohih Fiqih Sunnah, 2/117)
Namun, yang lebih tepat karena tidak ada dalil yang melarang untuk bersiwak, maka hal ini dibolehkan di setiap waktu ketika berpuasa.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.” (Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/259, Asy Syamilah). Dalil dari hal ini yaitu hadits dari ‘Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keutamaan bersiwak,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” (Diriwayatkan oleh Bukhari [no.27] tanpa sanad. Juga diriwayatkan oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Ad Darimi, An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Catatan:
Penjelasan di atas adalah mengenai bersiwak yaitu menggunakan kayu siwak. Adapun menyikat gigi menggunakan pasta gigi yang -tentunya memiliki rasa (menyegarkan) dan beraroma-, maka seharusnya tidak dilakukan sering-sering karena siwak tentu saja berbeda dengan sikat gigi yang beraroma.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya : Apa hukum menggunakan sikat gigi bagi orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan?
Syaikh rahimahullah menjawab : Menggunakan sikat gigi ketika puasa tidaklah masalah jika tidak masuk ke dalam perut. Akan tetapi lebih baik sikat gigi tidak digunakan ketika puasa karena sikat gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakkannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa”. Maka lebih utama adalah orang yang berpuasa tidak menyikat gigi (dengan pasta). Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262)
Demikian pembahasan mengenai siwak. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Disusun di Pangukan, Sleman, 4 Robi’ul Akhir 1430 H
****
Penulis:Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com