Hadits dho’if adalah setiap hadits yang mardud
(tertolak) yang tidak memenuhi syarat hadits shahih atau hadits hasan. Boleh
jadi hadits tersebut terputus sanadnya, terdapat perowi yang tidak ‘adl (tidak
sholih), sering berdusta, dituduh dusta, sering keliru, atau hadits tersebut
memiliki ‘illah (cacat yang tersembunyi) atau riwayatnya menyelisihi riwayat
perowi yang lebih tsiqoh (lebih terpercaya) darinya.
Tersebarnya hadits dho’if atau yang lebih parah
lagi hadits palsu menyebabkan berbagai amalan tanpa tuntunan tersebar di
tengah-tengah ummat Islam. Perusakan Islam dengan cara seperti ini sebenarnya
lebih parah dari penyerangan tentara Yahudi terhadap umat Islam. Karena yang
merusak dengan menyebarkan hadits dho’if dan palsu adalah umat Islam sendiri,
amat jarang dari luar Islam. Kita lihat sendiri semacam amalan puasa Nishfu
Sya’ban atau shalat pada malam Nishfu Sya’ban terjadi karena motivasi dari
hadits dho’if. Begitu pula beberapa dzikir tanpa tuntunan seringkali jadi amalan
juga karena motivasi dari hadits-hadits dho’if atau bahkan palsu yang sengaja
dibuat-buat oleh orang-orang yang bermaksud baik namun lewat jalan yang
keliru.
Dalam Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi menukilkan
perkataan Abul Fadhl Al Hamadani, di mana ia berkata, “Orang yang berbuat bid’ah
dalam Islam dan yang sengaja membuat hadits maudhu’ (yang palsu yang
diriwayatkan oleh perowi pendusta, pen), sebenarnya mereka lebih merusak
daripada orang mulhid (musuh Islam). Karena orang mulhid bermaksud merusak Islam
dari luar.”[1]
Siapa saja yang membicarakan suatu lantas ia
katakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam padahal itu dusta, maka ia
termasuk salah satu di antara dua pendusta dan ia terancam dengan sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ
مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja,
maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka” (HR. Bukhari no. 1291 dan
Muslim no. 3).
Bagaimana hukum beramal dengan hadits dho’if
tentang fadhilah amal (keutamaan amal)? Ulama pakar hadits dan pakar fiqih
dahulu dan sekarang terus berselisih pendapat dalam masalah ini. Itulah yang
akan kita angkat pada pembahasan ini.
Pendapat yang Melarang secara Mutlak
Menurut sekelompok ulama, hadits dho’if tidak
digunakan dalam fadho’il a’mal (menjelaskan keutamaan amal) dan juga tidak dalam
masalah lainnya. Di antara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Al Imam
Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya.
Muslim An Naisaburi rahimahullah mengatakan,
“Hadits dalam agama ini boleh jadi membicarakan halal, haram, perintah dan
larangan, atau boleh jadi membicarakan tentang dorongan (targhib) atau ancaman
(tarhib) tatkala melakukan sesuatu. Jika seorang perowi yang meriwayatkan hadits
bukanlah orang yang jujur dan bukan orang yang memegang amanah, kemudian ada
pula perowi yang tidak dijelaskan keadaannya, maka orang yang menyebarkan hadits
yang mengandung perowi semacam ini adalah orang yang berdosa karena
perbuatannya. Dia adalah orang yang telah mengelabui kaum muslimin yang awam.
Akibat dari perbuatan semacam ini, orang-orang yang mendengar hadits-hadits
dho’if semacam ini mengamalkannya, mengamalkan sebagian atau lebih banyak.
Padahal di antara hadits-hadits tersebut ada yang berisi perowi pendusta,
sebagian lainnya adalah hadits yang tidak diketahui asal usulnya.”[2] Intinya,
Imam Muslim berpandangan bahwa hadits dho’if tidak boleh diamalkan sama
sekali.
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Apa yang
dikatakan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab shahihnya –secara zhohir
(tekstual)- bermakna hadits dalam masalah targib (memotivasi untuk beramal)
diriwayatkan sama halnya dengan riwayat yang membicarakan tentang masalah
hukum”[3]. Artinya jika hadits yang membicarakan tentang masalah hukum tidak
boleh berasal dari hadits dho’if, hal yang sama berlaku pula pada masalah
fadhilah ‘amal.
Abu Bakr Ibnul ‘Arobi juga berpandangan tidak
bolehnya menggunakan hadits dho’if secara mutlak baik dalam masalah fadhoil
a’mal dan masalah lainnya.[4] Pendapat ini juga yang menjadi pendapat Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al Albani rahimahullah[5] dan juga murid-muridnya.
Sebagian ulama ada yang memberi keringanan dalam
menyebutkan hadits dho’if asalkan memenuhi tiga syarat:
Dho’if-nya tidak terlalu dho’if.
Hadits dho’if tersebut memiliki ashlun (hadits
pokok) dari hadits shahih, artinya ia berada di bawah kandungan hadits
shahih.
Tidak boleh diyakini bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakannya.
Dari sini, berarti jika haditsnya sangat dhoif
(seperti haditsnya diriwayatkan oleh seorang pendusta), maka tidak boleh
diriwayatkan selamanya kecuali jika ingin dijelaskan kedhoifannya.
Jika hadits tersebut tidak memiliki pendukung
yang kuat dari hadits shahih, maka hadits tersebut juga tidak boleh
diriwayatkan. Misalnya hadits yang memiliki pendukung dari hadits yang shahih:
Kita meriwayatkan hadits tentang keutamaan shalat Jama’ah, namun haditsnya
dhoif. Maka tidak mengapa menyebut hadits tersebut untuk memotivasi yang lain
dalam shalat jama’ah karena saat itu tidak ada bahaya meriwayatkannya. Karena
jika hadits tersebut dho’if, maka ia sudah memiliki penguat dari hadits shahih.
Hanya saja hadits dho’if tersebut sebagai motivator. Namun yang jadi pegangan
sebenarnya adalah hadits shahih.
Akan tetapi ada syarat ketiga yang mesti diingat,
yaitu hendaklah tidak diyakini bahwa hadits dhoif tersebut berasal dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syarat ketiga ini yang seringkali tidak
diperhatikan. Karena kebanyakan orang menyangka bahwa hadits-hadits tersebut
adalah hadits shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak
ditegaskan kalau hadits itu dho’if. Akibatnya timbul anggapan keliru. Dalam
syarat ketiga ini para ulama memberi aturan, hadits dho’if tersebut hendaknya
dikatakan “qiila” (dikatakan) atau “yurwa” (ada yang meriwayatkan), tanpa kata
tegas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Penjelasan Apik dari Ibnu Taimiyah
Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah mengatakan, “Tidak ada
satu pun ulama yang mengatakan bolehnya menjadikan sesuatu yang wajib atau
sunnah berdasarkan hadits dho’if. Barangsiapa menyatakan bolehnya hal itu, maka
sungguh ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan para ulama). Hal ini sama halnya
ketika kita tidak boleh mengharamkan sesuatu (dalam masalah hukum) kecuali
berdasarkan dalil syar’i (yang shahih). Akan tetapi jika diketahui sesuatu itu
terlarang (haram) dari hadits yang membicarakan balasan baik bagi pelakunya dan
diketahui bahwa hadits tersebut bukan diriwayatkan oleh perowi pendusta, maka
hadits tersebut boleh saja diriwayatkan dalam rangka targhib (memotivasi dalam
amalan kebaikan) dan tarhib (untuk menakut-nakuti). Hal ini berlaku selama tidak
diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits yang berisi perowi pendusta (baca:
hadits maudhu’/ palsu). Namun patut diketahui bahwa memotivasi suatu amalan
kebaikan atau menakuti-nakuti dari suatu amalan yang jelek didukung dengan dalil
lain (yang shahih), bukan hanya dengan hadits yang tidak jelas status
keshahihannya.” [6]
Ada dua point berharga yang bisa kita ambil dari
penjelasan Syaikhul Islam di atas. Pertama, tidak boleh menggunakan hadits
maudhu’ (hadits palsu yang berisi perowi pendusta) dalam masalah targib dan
tarhib. Kedua, hadits dho’if yang digunakan untuk memotivasi dalam beramal,
hendaknya memiliki landasan dari hadits shahih lainnya. Sehingga sebenarnya yang
kita amalkan adalah hadits shahih dan bukan hadits dhoifnya.
Di tempat yang lain Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
menjelaskan, “Jika diketahui bahwa suatu amal disunnahkan dengan dalil syar’i
(dalil shahih) dan diriwayatkan pula hadits lainnya dengan sanad yang dho’if
yang membicarakan masalah fadhilah amal, maka hadits tersebut bisa diriwayatkan
asalkan haditnys bukan merupakan hadits maudhu’ (yang di dalamnya ada salah satu
perowi pendusta). Karena yang namanya jumlah pahala (dalam memotivasi untuk
beramal, pen) tidak diketahui ukuran pastinya. Oleh karenanya, jika dalam
masalah ukuran pahala diriwayatkan dengan hadits yang dho’if selama bukan hadits
yang dusta (hadits maudhu’), maka hadits semacam ini tidak dikatakan dusta. Oleh
karena itu Imam Ahmad bin Hambal dan ulama lainnya memberikan keringanan
meriwayatkan hadits dhoif dalam masalah fadhoil a’mal. Adapun jika suatu amalan
dikatakan sunnah berdasarkan hadits dho’if (semata), maka beliau menjauhkan diri
darinya karena (takut pada) Allah.”[7]
Beliau menjelaskan pula, “Jika hadits dho’if
tentang fadhilah amal mengandung amalan yang disebutkan tata cara tertentu atau
jumlah tertentu –seperti disebutkan shalat pada waktu tertentu dengan bacaan
tertentu atau tata cara tertentu-, maka hadits semacam ini tidak boleh
diamalkan. Karena tata cara amalan yang dilakukan haruslah ditetapkan dengan
dalil syar’i. Hal ini berbeda halnya jika diriwayatkan suatu hadits yang
mengatakan bahwa barangsiapa memasuki pasar lalu ia menyebut “laa ilaha
ilallah”, maka pahalanya sekian dan sekian, maka ini tidak mengapa. Karena yang
namanya dzikir kepada Allah di pasar disunnahkan karena ini termasuk amalan yang
dilakukan di saat kebanyakan orang sedang lalai.”[8]
Ibnu Taimiyah kemudian membuat kesimpulan yang
amat bagus dalam perkataan selanjutnya,
. فَالْحَاصِلُ : أَنَّ هَذَا الْبَابَ يُرْوَى
وَيُعْمَلُ بِهِ فِي التَّرْغِيبِ وَالتَّرْهِيبِ لَا فِي الِاسْتِحْبَابِ ثُمَّ
اعْتِقَادُ مُوجِبِهِ وَهُوَ مَقَادِيرُ الثَّوَابِ وَالْعِقَابِ يَتَوَقَّفُ عَلَى
الدَّلِيلِ الشَّرْعِيِّ .
“Intinya, hadits dho’if bisa diriwayatkan namun
dalam masalah targhib dan tarhib saja. Hadits dho’if bukanlah diriwayatkan untuk
menyebutkan sunnahnya suatu amalan. Adapun untuk memastikan besarnya suatu
pahala atau akibat buruk dari suatu amalan jelek, maka cukup dalil syar’i (yang
shahih) yang jadi pegangan. ”[9]
Sikap yang Lebih Hati-Hati
Sebagian ulama bersikap bahwa hadits dho’if
tidak boleh digunakan secara mutlak kecuali jika ingin dijelaskan dho’ifnya.
Pendapat ini tidak diragukan lagi lebih hati-hati dan lebih selamat. Untuk
memotivasi pada kebaikan dan mengancam suatu perbuatan yang jelek sebenarnya
sudah cukup dengan hadits shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
Demikian kajian kami saat ini. Semoga
bermanfaat.
Alhamdulillah selesai disusun di pagi penuh
barokah, 20 Rojab 1431 H (04/07/2010) di Panggang-GK
Artikel www.rumaysho.com
Muhammad Abduh Tuasikal
[1] Al Mawdhu’at, Ibnul Jauzi, 1/51, Mawqi’
Ya’sub.
[2] Shahih Muslim, Muslim bin Al Hajjaj bin
Muslim Al Qusyairi An Naisaburi, 1/21, Darul Jail-Darul Afaq.
[3] Syarh ‘Ilal At Tirmidzi, 1/ 373.
[4] Tadribur Rowi, 1/252.
[6] Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al
Haroni, 1/ 251, Darul Wafa’.
[7] Majmu’ Al Fatawa, 10/408-409.
[8] Majmu’ Al Fatawa, 18/67.
[9] Majmu’ Al Fatawa, 18/68.