Maksud judul pada posting kali ini bukanlah untuk
sekedar mengenal kucing, namun kita akan lebih jauh meninjau hewan yang satu ini
dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ
الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
“Kucing itu tidaklah najis. Sesungguhnya kucing
merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita. ” (HR. At
Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ad Darimi, Ahmad, Malik. Syaikh Al
Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 173 mengatakan bahwa hadits ini shohih)
:: Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari
hadits di atas ::
Pelajaran Pertama
Kucing adalah binatang yang suci, namun haram
untuk dimakan. Ada suatu kaedah: “Segala hewan yang haram dimakan termasuk hewan
yang najis.” Namun, dalam penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ada
pula hewan yang tidak dikatakan najis yang menyelisihi kaedah tadi. Kucing
memang pada asalnya najis karena kucing haram untuk dimakan. Namun, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan alasan yang tidak kita temui pada hewan
lainnya yaitu karena kucing adalah hewan yang biasa kita temui di sekitar
kita.
Jadi, faedah dari hadits ini: semua hewan yang
haram dimakan dihukumi najis kecuali hewan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam hukumi suci dengan alasan yang tidak ditemui pada hewan lainnya
.
Pelajaran kedua
Kucing memang tidak najis. Namun apakah ini
berlaku secara umum? Jawabannya: Tidak. Kucing memang tidak najis pada: air
liurnya, segala sesuatu yang keluar dari hidungnya, keringat, bekas minum dan
bekas makannya. Namun, pada kotoran dan kencing dari hewan tersebut tetap
dihukumi najis. Begitu pula darahnya dihukumi najis. Alasannya, karena kotoran,
kencing dan darah pada hewan yang haram dimakan juga dihukumi najis. Jadi,
segala sesuatu yang berasal dari bagian dalam tubuh dari hewan yang haram
dimakan dihukumi najis, seperti kencing, kotoran, darah, muntahan dan
semacamnya.
Pelajaran ketiga
Jika kucing minum dari suatu wadah yang berisi
air –sebagaimana diceritakan sebab Abu Qotadah menyebutkan hadits ini-, maka air
tadi tidak dihukumi najis, baik kucing tersebut meminumnya dalam jumlah sedikit
ataupun banyak. Alasannya, karena air yang ada di bejana Abu Qotadah tadi hanya
sedikit yang digunakan untuk berwudhu.
Pelajaran keempat
Tidak ada beda apakah kucing tersebut memakan
sesuatu yang najis (semacam bangkai) dalam jumlah yang banyak atau sedikit.
Kenapa? Karena kemutlaqan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi. Nabi
ucapkan dalam bentuk umum: “Kucing tidaklah najis”. Sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mencakup baik kucing tadi makan sesuatu yang najis beberapa
saat tadi atau sudah dalam waktu yang lama. Jadi tidak boleh dikatakan, “Tadi
saya lihat kucing tersebut makan tikus, lalu sekarang minum air dari bejana
tersebut. Maka air ini kita hukumi najis.” Hal ini tidak demikian.
Pelajaran kelima
Dari hadits ini, maka benarlah kaedah yang biasa
disebutkan oleh para ulama: “Al masyaqqoh tajlibut taisir (Karena adanya
kesulitan, datanglah kemudahan)”. Allah telah meniadakan najis dari kucing
karena kesulitan yang diperoleh yang sulit kita hindari yaitu kucing adalah
hewan yang selalu kita temui dan berada di sekitar kita. Seandainya kucing
dihukumi najis padahal dia sering meminum air, susu atau memakan makanan yang
ada di sekitar kita, maka ini akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu, karena
adanya kesulitan semacam ini, datanglah kemudahan yaitu kucing tidaklah
najis.
Pelajaran keenam
Najis yang sulit dihindari dimaafkan jika kita
terkena najis tersebut. Sebagaimana pendapat sebagian ulama yang menilai darah
itu najis (padahal menurut pendapat yang lebih kuat, darah tidaklah najis),
mereka mengatakan: darah yang jumlahnya sedikit selain yang keluar dari kemaluan
dan dubur dimaafkan.
Pelajaran ketujuh
Tikus juga termasuk hewan yang suci, namun haram
dimakan. Alasannya sama dengan kucing, karena tikus adalah hewan yang sering
kita jumpai dan berada di sekitar kita.
Pelajaran kedelapan
Penjelasan dalam hadits ini menunjukkan kepada
kita bahwa Allah sangat menyayangi makhluk-Nya. Di saat kita mendapatkan
kesulitan dan sulit dihindari, Allah akhirnya memberi keringanan kepada kita.
Bisa dikatakan demikian karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits ini: “Kucing ini tidaklah najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang
sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita”.
Jadi, syariat Islam dibangun di atas rahmat,
kemudahan dan penuh toleran. Kaedah ini dapat pula kita telusuri pada firman
Allah:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ
بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu
dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ
أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ
“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada
seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan
dikalahkan.” (HR. Bukhari no. 39)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
menasehati para sahabat yang ingin menghardik Arab Badui,
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ
تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Sesungguhnya kalian diutus untuk mendatangkan
kemudahan. Kalian bukanlah diutus untuk mendatangkan kesulitan.” (HR. Bukhari
no. 6128)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga
bersabda,
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا ، وَبَشِّرُوا وَلاَ
تُنَفِّرُوا
“Berilah kemudahan, janganlah membuat sulit.
Berilah kabar gembira, janganlah membuat orang lari.” (HR. Bukhari no. 69)
Jika orang melihat sesuatu pada kita yang dirasa
asing, maka hendaklah kita menghilangkan keanehan yang dia anggap sebagaimana
yang dilakukan oleh Abu Qotadah tadi ketika Kabsyah merasa aneh dengan apa yang
dia lakukan.
Demikian apa yang kita kaji dan kita gali dari
hadits ini. Semoga yang sedikit ini, bisa menambah ilmu kita dan semoga bisa
membuahkan amal sholeh.
Alhamdulillallahilladzi bi ni’matihi tatimmush
sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Rujukan:
Fathu Dzil Jalali Wal Ikrom bisyarh Bulughil
Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 1/107-114, terbitan: Madarul
Wathon Lin Nasyr.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com
Pangukan, Sleman, 16 Shofar 1430 H
No comments:
Post a Comment