Zakat secara bahasa berarti an namaa’ (tumbuh),
az ziyadah (bertambah), ash sholah (perbaikan), menjernihkan sesuatu dan sesuatu
yang dikeluarkan dari pemilik untuk menyucikan dirinya.
Fithri sendiri berasal dari kata ifthor, artinya
berbuka (tidak berpuasa). Zakat disandarkan pada kata fithri karena fithri
(tidak berpuasa lagi) adalah sebab dikeluarkannya zakat tersebut.[1] Ada pula
ulama yang menyebut zakat ini juga dengan sebutan “fithroh”, yang berarti
fitrah/ naluri. An Nawawi mengatakan bahwa untuk harta yang dikeluarkan sebagai
zakat fithri disebut dengan “fithroh”[2]. Istilah ini digunakan oleh para pakar
fikih.
Sedangkan menurut istilah, zakat fithri berarti
zakat yang diwajibkan karena berkaitan dengan waktu ifthor (tidak berpuasa lagi)
dari bulan Ramadhan.[3]
Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia
berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً
لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ
وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari bersenda gurau
dan kata-kata keji, dan juga untuk memberi makan miskin. Barangsiapa yang
menunaikannya sebelum shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang
menunaikannya setelah shalat maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara
berbagai sedekah.”[5]
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib
ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan
Ramadhan. Bahkan Ishaq bin Rohuyah menyatakan bahwa wajibnya zakat fithri
seperti ada ijma’ (kesepakatan ulama) di dalamnya[6]. Bukti dalil dari wajibnya
zakat fithri adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم -
زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ
وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ
الْمُسْلِمِينَ وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى
الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap
muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun
dewasa. Zakat tersebut diperintahkan dikeluarkan sebelum orang-orang keluar
untuk melaksanakan shalat ‘ied.”[7]
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh: (1)
setiap muslim karena untuk menutupi kekurangan puasa yang diisi dengan perkara
sia-sia dan kata-kata kotor, (2) yang mampu mengeluarkan zakat fithri.
Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini
adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada
malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti
dia dikatakan mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Orang seperti ini yang
disebut ghoni (berkecukupan) sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
مَنْ سَأَلَ وَعِنْدَهُ مَا يُغْنِيهِ فَإِنَّمَا
يَسْتَكْثِرُ مِنَ النَّارِ » فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا يُغْنِيهِ قَالَ
« أَنْ يَكُونَ لَهُ شِبَعُ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ أَوْ لَيْلَةٍ وَيَوْمٍ
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki
sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.”
Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan yang
mengenyangkan untuk sehari-semalam. [9]”[10]
Dari syarat di atas menunjukkan bahwa kepala
keluarga wajib membayar zakat fithri orang yang ia tanggung nafkahnya.[11]
Menurut Imam Malik, ulama Syafi’iyah dan mayoritas ulama, suami bertanggung
jawab terhadap zakat fithri si istri karena istri menjadi tanggungan nafkah
suami.[12]
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar
Zakat Fithri?
Seseorang mulai terkena kewajiban membayar zakat
fithri jika ia bertemu terbenamnya matahari di malam hari raya Idul Fithri. Jika
dia mendapati waktu tersebut, maka wajib baginya membayar zakat fithri. Inilah
yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i.[13] Alasannya, karena zakat fithri
berkaitan dengan hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Oleh karena itu, zakat
ini dinamakan demikian (disandarkan pada kata fithri) sehingga hukumnya juga
disandarkan pada waktu fithri tersebut.[14]
Misalnya, apabila seseorang meninggal satu menit
sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya
kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah
terbenamnya matahari maka wajib baginya untuk mengeluarkan zakat fithri. Begitu
juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib
dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana terdapat
perbuatan dari Utsman bin ‘Affan yang mengeluarkan zakat fithri untuk janin.
Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib
untuk dikeluarkan darinya.
Bentuk Zakat Fithri
Bentuk zakat fithri adalah berupa makanan pokok
seperti kurma, gandum, beras, kismis, keju dan semacamnya. Inilah pendapat yang
benar sebagaimana dipilih oleh ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa. Namun hal ini diselisihi oleh ulama Hanabilah
yang membatasi macam zakat fithri hanya pada dalil (yaitu kurma dan gandum).
Pendapat yang lebih tepat adalah pendapat pertama, tidak dibatasi hanya pada
dalil.[15]
Perlu diketahui bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini
adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka
tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, tentu beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang
bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh
diperintahkan seperti ini. Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ
أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah
memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan
kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah: 89). Zakat fithri pun merupakan bagian dari
kafaroh karena di antara tujuan zakat ini adalah untuk menutup kesalahan karena
berkata kotor dan sia-sia.[16]
Ukuran Zakat Fithri
Para ulama sepakat bahwa kadar wajib zakat fithri
adalah satu sho’ dari semua bentuk zakat fithri kecuali untuk qomh (gandum) dan
zabib (kismis) sebagian ulama membolehkan dengan setengah sho’.[17] Dalil dari
hal ini adalah hadits Ibnu ‘Umar yang telah disebutkan bahwa zakat fithri itu
seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Dalil lainnya adalah dari Abu Sa’id Al
Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan,
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ
صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1
sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.”[18] Dalam riwayat lain disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
“Atau 1 sho’ keju.”[19]
Satu sho’ adalah ukuran takaran yang ada di masa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Para ulama berselisih pendapat bagaimanakah
ukuran takaran ini. Lalu mereka berselisih pendapat lagi bagaimanakah ukuran
timbangannya.[20] Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran empat cakupan
penuh telapak tangan yang sedang[21]. Ukuran satu sho’ jika diperkirakan dengan
ukuran timbangan adalah sekitar 3 kg.[22] Ulama lainnya mengatakan bahwa satu
sho’ kira-kira 2,157 kg.[23] Artinya jika zakat fithri dikeluarkan 2,5 kg, sudah
dianggap sah. Wallahu a’lam.
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan
Uang?
Ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa tidak boleh menyalurkan zakat fithri dengan uang yang senilai
dengan zakat. Karena tidak ada satu pun dalil yang menyatakan dibolehkannya hal
ini. Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bolehnya zakat fithri diganti dengan
uang.
Pendapat yang tepat dalam masalah ini adalah
tidak bolehnya zakat fithri dengan uang sebagaimana pendapat mayoritas
ulama.
Abu Daud mengatakan,
قِيلَ لِأَحْمَدَ وَأَنَا أَسْمَعُ : أُعْطِي
دَرَاهِمَ - يَعْنِي فِي صَدَقَةِ الْفِطْرِ - قَالَ : أَخَافُ أَنْ لَا يُجْزِئَهُ
خِلَافُ سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ .
“Imam Ahmad ditanya dan aku pun menyimaknya.
Beliau ditanya oleh seseorang, “Bolehkah aku menyerahkan beberapa uang dirham
untuk zakat fithri?” Jawaban Imam Ahmad, “Aku khawatir seperti itu tidak sah.
Mengeluarkan zakat fithri dengan uang berarti menyelisihi perintah Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Abu Tholib berkata berkata bahwa Imam Ahmad
berkata padanya,
“Tidak boleh menyerahkan zakat fithri dengan uang
seharga zakat tersebut.”
Dalam kisah lainnya masih dari Imam Ahmad,
قِيلَ لَهُ : قَوْمٌ يَقُولُونَ ، عُمَرُ بْنُ
عَبْدِ الْعَزِيزِ كَانَ يَأْخُذُ بِالْقِيمَةِ ، قَالَ يَدَعُونَ قَوْلَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَقُولُونَ قَالَ فُلَانٌ ، قَالَ
ابْنُ عُمَرَ : فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ada yang berkata pada Imam Ahmad, “Suatu kaum
mengatakan bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz membolehkan menunaikan zakat fithri
dengan uang seharga zakat.” Jawaban Imam Ahmad, “Mereka meninggalkan sabda
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas mereka mengatakan bahwa si
fulan telah mengatakan demikian?! Padahal Ibnu ‘Umar sendiri telah menyatakan,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri (dengan satu
sho’ kurma atau satu sho’ gandum ...).[24]” Allah Ta’ala berfirman (yang
artinya), “Ta’atlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”[25] Sungguh aneh, segolongan
orang yang menolak ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam malah mengatakan,
“Si fulan berkata demikian dan demikian”.”[26]
Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz (pernah
menjabat sebagai Ketua Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’,
Komisi Fatwa Saudi Arabia), memberikan penjelasan:
“Telah kita ketahui bahwa ketika pensyari’atan
dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di
tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang
dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan.
Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan
uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut.
Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah
manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya
ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan
dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan
syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita.”[27]
Penerima Zakat Fithri
Para ulama berselisih pendapat mengenai siapakah
yang berhak diberikan zakat fithri. Mayoritas ulama berpendapat bahwa zakat
fithri disalurkan pada 8 golongan sebagaimana disebutkan dalam surat At Taubah
ayat 60[28]. Sedangkan ulama Malikiyah, Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya
dan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa zakat fithri hanyalah khusus untuk fakir
miskin saja.[29] Karena dalam hadits disebutkan,
وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Zakat fithri sebagai makanan untuk orang
miskin.”
Alasan lainnya dikemukan oleh murid Ibnu
Taimiyah, yaitu Ibnu Qayyim Al Jauziyah. Beliau rahimahullah menjelaskan, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi petunjuk bahwa zakat fithri hanya khusus
diserahkan pada orang-orang miskin dan beliau sama sekali tidak membagikannya
pada 8 golongan penerima zakat satu per satu. Beliau pun tidak memerintahkan
untuk menyerahkannya pada 8 golongan tersebut. Juga tidak ada satu orang sahabat
pun yang melakukan seperti ini, begitu pula orang-orang setelahnya.”[30]
Pendapat terakhir ini yang lebih tepat, yaitu zakat fithri hanya khusus untuk
orang miskin.
Waktu Pengeluaran Zakat Fithri
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat
fithri ada dua macam: (1) waktu afdhol yaitu mulai dari terbit fajar pada hari
‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied; (2) waktu yang
dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah
dilakukan oleh Ibnu Umar.[31]
Yang menunjukkan waktu afdhol adalah hadits Ibnu
‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata,
مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ
مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ
الصَّدَقَاتِ.
“Barangsiapa yang menunaikan zakat fithri sebelum
shalat maka zakatnya diterima dan barangsiapa yang menunaikannya setelah shalat
maka itu hanya dianggap sebagai sedekah di antara berbagai sedekah.”[32]
Sedangkan dalil yang menunjukkan waktu dibolehkan
yaitu satu atau dua hari sebelum adalah disebutkan dalam shahih Al Bukhari,
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ - رضى الله عنهما -
يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا ، وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ
بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan Ibnu 'Umar radhiyallahu 'anhuma memberikan
zakat fithri kepada orang-orang yang berhak menerimanya dan dia mengeluarkan
zakatnya itu sehari atau dua hari sebelum hari Raya 'Idul Fithri.”[33]
Ada juga sebagian ulama yang membolehkan zakat
fithri ditunaikan tiga hari sebelum ‘Idul Fithri. Riwayat yang menunjukkan
dibolehkan hal ini adalah dari Nafi’, ia berkata,
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يَبْعَثُ
بِزَكَاةِ الْفِطْرِ إِلَى الَّذِي تُجْمَعُ عِنْدَهُ قَبْلَ الْفِطْرِ
بِيَوْمَيْنِ أَوْ ثَلَاثَةٍ
“’Abdullah bin ‘Umar memberikan zakat fitrah atas
apa yang menjadi tanggungannya dua atau tiga hari sebelum hari raya Idul
Fitri.”[34]
Sebagian ulama berpendapat bahwa zakat fithri
boleh ditunaikan sejak awal Ramadhan. Ada pula yang berpendapat boleh ditunaikan
satu atau dua tahun sebelumnya.[35] Namun pendapat yang lebih tepat dalam
masalah ini, dikarenakan zakat fithri berkaitan dengan waktu fithri (Idul
Fithri), maka tidak semestinya diserahkan jauh hari sebelum hari fithri.
Sebagaimana pula telah dijelaskan bahwa zakat fithri ditunaikan untuk memenuhi
kebutuhan orang miskin agar mereka bisa bersuka ria di hari fithri. Jika ingin
ditunaikan lebih awal, maka sebaiknya ditunaikan dua atau tiga hari sebelum hari
‘ied.
Ibnu Qudamah Al Maqdisi mengatakan, “Seandainya
zakat fithri jauh-jauh hari sebelum ‘Idul Fithri telah diserahkan, maka tentu
saja hal ini tidak mencapai maksud disyari’atkannya zakat fithri yaitu untuk
memenuhi kebutuhan si miskin di hari ‘ied. Ingatlah bahwa sebab diwajibkannya
zakat fithri adalah hari fithri, hari tidak lagi berpuasa. Sehingga zakat ini
pun disebut zakat fithri. ... Karena maksud zakat fithri adalah untuk mencukupi
si miskin di waktu yang khusus (yaitu hari fithri), maka tidak boleh didahulukan
jauh hari sebelum waktunya.”[36]
Bagaimana Menunaikan Zakat Fithri Setelah Shalat
‘Ied?
Barangsiapa menunaikan zakat fithri setelah
shalat ‘ied tanpa ada udzur, maka ia berdosa. Inilah yang menjadi pendapat ulama
Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah. Namun seluruh ulama pakar fikih sepakat
bahwa zakat fithri tidaklah gugur setelah selesai waktunya, karena zakat ini
masih harus dikeluarkan. Zakat tersebut masih menjadi utangan dan tidaklah gugur
kecuali dengan menunaikannya. Zakat ini adalah hak sesama hamba yang mesti
ditunaikan.[37]
Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menyerahkan
zakat fithri kepada suatu lembaga zakat, maka sudah seharusnya memperhatikan hal
ini. Sudah seharusnya lembaga zakat tersebut diberi pemahaman bahwa zakat fithri
harus dikeluarkan sebelum shalat ‘ied, bukan sesudahnya. Bahkan jika zakat
fithri diserahkan langsung pada si miskin yang berhak menerimanya, maka itu pun
dibolehkan. Hanya Allah yang memberi taufik.
Di Manakah Zakat Fithri Disalurkan?
Zakat fithri disalurkan di negeri tempat
seseorang mendapatkan kewajiban zakat fithri yaitu di saat ia mendapati waktu
fithri (tidak berpuasa lagi). Karena wajibnya zakat fithri ini berkaitan dengan
sebab wajibnya yaitu bertemu dengan waktu fithri.[38]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.rumaysho.com
[2] Al Majmu’, 6/103.
[3] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[4] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8278 dan
Minhajul Muslim, 230.
[5] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no.
1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[6] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[7] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[8] Lihat Shifat Shaum Nabi, 102.
[9] HR. Abu Daud no. 1435 dan Ahmad 4/180. Syaikh
Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[10] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/80-81.
[11] Mughnil Muhtaj, 1/595.
[12] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/59.
[13] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/58.
[14] Mughnil Muhtaj, 1/592.
[15] Shahih Fiqh Sunnah, 2/82.
[16] Lihat Majmu’ Al Fatawa, 25/69.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[18] HR. Bukhari no. 1508 dan Muslim no. 985.
[19] HR. Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985.
[20] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8286.
[21] Lihat Al Qomush Al Muhith, 2/298.
[22] Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/202.
[23] Lihat pendapat Syaikh Abu Malik dalam Shahih
Fiqh Sunnah, 2/83.
[24] HR. Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984.
[25] QS. An Nisa’ ayat 59.
[26] Lihat Al Mughni, 4/295.
[27] Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211
[28] Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk
mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan
Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” (QS. At Taubah: 60).
[29] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8287.
[30] Zaadul Ma’ad, 2/17.
[31] Lihat Minhajul Muslim, 231.
[32] HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no.
1827. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[33] HR. Bukhari no. 1511.
[34] HR. Malik dalam Muwatho’nya no. 629
(1/285).
[35] Lihat pendapat berbagai ulama dalam Al
Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284 dan Al Mughni, 5/494.
[37] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/8284.
[38] Misalnya, seseorang yang kesehariannya biasa
di Jakarta, sedangkan ketika malam Idul Fithri ia berada di Yogyakarta, maka
zakat fithri tersebut ia keluarkan di Yogyakarta karena di situlah tempat ia
mendapati hari fithri. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah,
2/8287.
No comments:
Post a Comment