Friday, April 10, 2015

Memetik Keuntungan dari Musibah

bismillah017a

Tiga bencana “besar” secara beruntun menghajar Indonesia. Gempa bumi, tsunami dan gunung meletus. Rasa pilu ini menambah sendu perasaan yang masih mengharu biru atas beberapa bencana “kecil” seperti banjir, tanah longsor dan tabrakan kereta api. Bencana ini telah merenggut ratusan nyawa dan menyapu harta benda dengan kerugian mencapai 11 digit dalam rupiah.
Namun saya percaya ada dua sisi dalam setiap masalah. Bila bencana itu telah menghadirkan kerugian, tentu kita juga bisa mencari keseimbangan dengan menarik kentungan darinya. Keuntungan apa itu ? Berikut ini beberapa di antaranya :

Penghapus Dosa

Musibah bisa menjadi alat penghapus dosa seseorang. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah. Tidak pula sakit, kegoncangan dan kegundahan serta kesedihan, sehingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan dosa-dosa darinya.” (HR. Bukhori-Muslim)
Tertusuk duri dianggap sebagai bencana yang paling ringan, karena bahkan kadang-kadang kita tidak menganggapnya sebagai bencana. Namun ternyata musibah kecil ini bisa menghapus dosa yang pernah kita lakukan.

Mengangkat Derajat

Musibah bisa menjadi sarana untuk mengangkat derajat seseorang. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang Allah inginkan kebaikan baginya, maka Allah akan memberinya musibah.” (HR. Bukhari)
Musibah itu sebagai tanda awal sebelum dilimpahkannya kebaikan bagi kita.

Sebagai Tanda Cinta

Musibah bisa jadi merupakan tanda cinta Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada seseorang. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Apabila Allah mencintai suatu kaum, maka Allah akan menguji mereka.” (Musnad Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany)
Kita tentu berharap Allah Subhanahu wa Ta’ala menguji sambil memberi kekuatan untuk melewati ujian itu. Sehingga cinta yang sangat agung ini berada dalam benggaman.
Perlu saya ingatkan lagi bahwa keutamaan atau keuntungan itu mungkin tidak kita rasakan pada saat di dunia. Mungkin kita tetap hina dalam pandangan manusia. Tapi kita berharap mendapat kedudukan yang tinggi di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan akan menikmati hasilnya di akhirat kelak. Insya Allah.
Kemudian semua keutamaan ini bisa kita raih tentunya hanya bila kita bersikap dengan benar. Bila kita tertusuk duri lalu memaki, kelihatannya tidak akan menghapus dosa bahkan akan menambah dosa. Tidak menjadi utama bahkan semakin hina dalam pandangan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pertanyaannya adalah, apa yang harus kita lakukan agar semua keuntungan itu bisa kita nikmati ? Satu hal yang ingin saya wasiatkan di sini adalah agar kita tetap SABAR dengan memenuhi persyaratannya, yaitu :

Syarat Pertama : Ikhlas karena Allah

Yaitu ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meniti kesabaran. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhannnya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rizki yang kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan, orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan yang baik.” [QS. Ar-Ra'd : 22]

Syarat Kedua : Tidak mengeluh

Yaitu tidak mengeluhkan musibah kepada orang lain kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala semata. Dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Allah berfirman : Apabila seorang mukmin diuji dan dia tidak mengeluhkan kepada pengunjungnya, maka Aku akan melepaskannya dari penjara-Ku (penyakit tersebut), kemudian Aku akan mengganti daging dan darahnya dengan daging dan darah yang lebih baik, kemudian dia mulai beramal lagi.” [HR. Hakim di Mustadrak : 1/349 dan dia mengatakan hadits ini shahih berdasarkan syarat-syarat shahihain, dan ini disetujui oleh Adz-Dzahabi]
Itulah janji Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan janji-Nya pasti benar bila syaratnya terpenuhi.

Syarat Ketiga : Bersabar pada waktunya

Yaitu dia bersabar pada saat terkena benturan yang pertama bukan setelah berakhirnya waktu tersebut.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Hanyalah kesabaran itu pada benturan yang pertama kali.” [Muttafaqun 'alaih]
Maksudnya adalah kesabaran yang sempurna yang akan mendatangkan pahala yang berlimpah karena banyaknya kesulitan yang dihadapi.
Maaf nih, artikelnya jadi rada panjang, padahal saya sudah berusaha untuk meringkasnya. Bagi yang ingin mempelajari lebih mendalam bisa menyimak buku ini.
Hiburan untuk Saudaraku yang Sakit dan yang Tertimpa Musibah
Hiburan untuk Saudaraku yang Sakit dan yang Tertimpa Musibah
Semoga bisa dicermati dan diambil manfaatnya.

Saturday, April 4, 2015

Air yang Boleh Digunakan Bersuci

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.
Kita telah mengetahui bersama bahwa di antara syarat sah shalat diharuskan untuk berwudhu terlebih dahulu atau bersuci secara umum. Untuk berwudhu tentu saja memerlukan air. Lalu air seperti saja yang boleh digunakan untuk berwudhu atau mandi besar? Itulah yang akan kami angkat dalam pembahasan kali ini. Semoga bermanfaat.
Ada Dua Macam Air
Perlu diketahui bahwa air itu ada dua macam yaitu air muthlaq dan air najis.
Pertama: Air Muthlaq
Air muthlaq ini biasa disebut pula air thohur (suci dan mensucikan). Maksudnya, air muthlaq adalah air yang tetap seperti kondisi asalnya. Air ini adalah setiap air yang keluar dari dalam bumi maupun turun dari langit. Sebagaimana Allah Ta'ala berfirman,
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang suci.” (QS. Al Furqon: 48)
Yang juga termasuk air muthlaq adalah air sungai, air salju, embun, dan air sumur kecuali jika air-air tersebut berubah karena begitu lama dibiarkan atau karena bercampur dengan benda yang suci sehingga air tersebut tidak disebut lagi air muthlaq.
Begitu pula yang termasuk air muthlaq adalah air laut. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah ditanyakan mengenai air laut, beliau pun menjawab,
هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ
Air-air inilah yang boleh digunakan untuk berwudhu dan mandi tanpa ada perselisihan pendapat antara para ulama.
Bagaimana jika air muthlaq tercampur benda lain yang suci?
Di sini ada dua rincian, yaitu:
1. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci dan jumlahnya sedikit, sehingga air tersebut tidak berubah apa-apa dan masih tetap disebut air (air muthlaq), maka ia boleh digunakan untuk berwudhu. Misalnya, air dalam bak yang berukuran 300 liter kemasukan sabun yang hanya seukuran 2 mm, maka tentu saja air tersebut tidak berubah dan boleh digunakan untuk berwudhu.
2. Jika air tersebut tercampur dengan benda suci sehingga air tersebut tidak lagi disebut air (air muthlaq), namun ada “embel-embel” (seperti jika tercampur sabun, disebut air sabun atau tercampur teh, disebut air teh), maka air seperti ini tidak disebut dengan air muthlaq sehingga tidak boleh digunakan untuk bersuci (berwudhu atau mandi).
Kedua: Air Najis
Air najis adalah air yang tercampur najis dan berubah salah satu dari tiga sifat yaitu bau, rasa atau warnanya. Air bisa berubah dari hukum asal (yaitu suci) apabila berubah salah satu dari tiga sifat yaitu berubah warna, rasa atau baunya.
Dari Abu Umamah Al Bahiliy, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يُنَجِّسُهُ شَىْءٌ إِلاَّ مَا غَلَبَ عَلَى رِيحِهِ وَطَعْمِهِ وَلَوْنِهِ
Tambahan “selain yang mempengaruhi bau, rasa, dan warnanya” adalah tambahan yang dho'if. Namun, An Nawawi mengatakan, “Para ulama telah sepakat untuk berhukum dengan tambahan ini.” Ibnul Mundzir mengatakan, “Para ulama telah sepakat bahwa air yang sedikit maupun banyak jika terkena najis dan berubah rasa, warna dan baunya, maka itu adalah air yang najis.” Ibnul Mulaqqin mengatakan, “Tiga pengecualian dalam hadits Abu Umamah di atas tambahan yang dho’if (lemah). Yang menjadi hujah (argumen) pada saat ini adalah ijma’ (kesepakatan kaum muslimin) sebagaimana dikatakan oleh Asy Syafi’i, Al Baihaqi, dll.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesuatu yang telah disepakati oleh kaum muslimin, maka itu pasti terdapat nashnya (dalil tegasnya). Kami tidak mengetahui terdapat satu masalah yang telah mereka sepakati, namun tidak ada nashnya.”[2]
Intinya, air jenis kedua ini (air najis) tidak boleh digunakan untuk berwudhu.[3]
Bolehkah Air Musta'mal Digunakan untuk Bersuci?
Yang dimaksud air musta'mal adalah air yang jatuh dari anggota wudhu orang yang berwudhu. Atau gampangnya kita sebut air musta'mal dengan air bekas wudhu.
Para ulama berselisih pendapat apakah air ini masih disebut air yang bisa mensucikan (muthohhir) ataukah tidak.
Namun pendapat yang lebih kuat, air musta'mal termasuk air muthohhir (mensucikan, berarti bisa digunakan untuk berwudhu dan mandi) selama ia tidak keluar dari nama air muthlaq atau tidak menjadi najis disebabkan tercampur dengan sesuatu yang najis sehingga merubah bau, rasa atau warnanya. Inilah pendapat yang dianut oleh 'Ali bin Abi Tholib, Ibnu 'Umar, Abu Umamah, sekelompok ulama salaf, pendapat yang masyhur dari Malikiyah, merupakan salah satu pendapat dari Imam Asy Syafi'i dan Imam Ahmad, pendapat Ibnu Hazm, Ibnul Mundzir dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.[4]
Dalil-dalil yang menguatkan pendapat bahwa air musta'mal masih termasuk air yang suci:
Pertama: Dari Abu Hudzaifah, beliau berkata,
خَرَجَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - بِالْهَاجِرَةِ ، فَأُتِىَ بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ ، فَجَعَلَ النَّاسُ يَأْخُذُونَ مِنْ فَضْلِ وَضُوئِهِ فَيَتَمَسَّحُونَ بِهِ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami di al Hajiroh, lalu beliau didatangkan air wudhu untuk berwudhu. Kemudian para sahabat mengambil bekas air wudhu beliau. Mereka pun menggunakannya untuk mengusap.”[5]
Ibnu Hajar Al 'Asqolani mengatakan, “Hadits ini bisa dipahami bahwa air bekas wudhu tadi adalah air yang mengalir dari anggota wudhu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Sehingga ini adalah dalil yang sangat-sangat jelas bahwa air musta'mal adalah air yang suci.”[6]
Kedua: Dari Miswar, ia mengatakan,
وَإِذَا تَوَضَّأَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - كَادُوا يَقْتَتِلُونَ عَلَى وَضُوئِهِ
“Jika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berwudhu, mereka (para sahabat) hampir-hampir saling membunuh (karena memperebutkan) bekas wudhu beliau.”[7]
Air yang diceritakan dalam hadits-hadits di atas digunakan kembali untuk bertabaruk (diambil berkahnya). Jika air musta'mal itu najis, lantas kenapa digunakan? Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan, “Hadits-hadits ini adalah bantahan kepada orang-orang yang menganggap bahwa air musta'mal itu najis. Bagaimana mungkin air najis digunakan untuk diambil berkahnya?”[8]
Ketiga: Dari Ar Rubayyi', ia mengatakan,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَ بِرَأْسِهِ مِنْ فَضْلِ مَاءٍ كَانَ فِى يَدِهِ.
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengusap kepalanya dengan bekas air wudhu yang berada di tangannya.”[9]
Keempat: Dari Jabir, beliau mengatakan,
جَاءَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - يَعُودُنِى ، وَأَنَا مَرِيضٌ لاَ أَعْقِلُ ، فَتَوَضَّأَ وَصَبَّ عَلَىَّ مِنْ وَضُوئِهِ ، فَعَقَلْتُ
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menjengukku ketika aku sakit dan tidak sadarkan diri. Beliau kemudian berwudhu dan bekas wudhunya beliau usap padaku. Kemudian aku pun tersadar.”[10]
Kelima: Dari 'Abdullah bin 'Umar, beliau mengatakan,
كَانَ الرِّجَالُ وَالنِّسَاءُ يَتَوَضَّئُونَ فِى زَمَانِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - جَمِيعًا
“Dulu di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain.”[11]
Keenam: Dari Ibnu 'Abbas, ia menceritakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah.”[12]
Ibnul Mundzir mengatakan, “Berdasarkan ijma' (kesepakatan) para ulama, air yang tersisa pada anggota badan orang yang berwudhu dan orang yang mandi atau yang melekat pada bajunya adalah air yang suci. Oleh karenanya, hal ini menunjukkan bahwa air musta'mal adalah air yang suci. Jika air tersebut adalah air yang suci, maka tidak ada alasan untuk melarang menggunakan air tersebut untuk berwudhu tanpa ada alasan yang menyelisihinya.”[13]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Begitu pula air musta'mal yang digunakan untuk mensucikan hadats tetap dianggap suci.”[14]
Sedangkan sebagian ulama semacam Imam Asy Syafi'i dalam salah satu pendapatnya, Imam Malik, Al Auza'i dan Imam Abu Hanifah serta murid-muridnya berpendapat tidak bolehnya berwudhu dengan air musta'mal.[15] Namun pendapat yang mereka gunakan kurang tepat karena bertentangan dengan dalil-dalil yang cukup tegas sebagaimana yang kami kemukakan di atas. Wallahu a'lam.
Catatan: Ada beberapa hadits yang melarang menggunakan air bekas bersucinya wanita semisal hadits dari Al Hakam bin 'Amr. Beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُورِ الْمَرْأَةِ.
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melarang seseorang berwudhu dari air bekar bersucinya wanita.”[16] Agar hadits ini tidak bertentangan dengan hadits, “Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mandi dari bekas mandinya Maimunah” atau hadits, “Dulu di masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam laki-laki dan perempuan, mereka semua pernah menggunakan bekas wudhu mereka satu sama lain”, maka kita bisa melalui jalan kompromi. Kita katakan bahwa larangan dalam hadits Al Hakam bin 'Amr yang dimaksud adalah larangan tanzih (makruh) dan tidak sampai diharamkan. Jadi menggunakan air bekas bersucinya wanita dihukumi makruh dan bukan haram. Wallahu a'lam.[17]
Selanjutnya kita akan membahas permasahalan air dua qullah.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id , dipublish ulang oleh http://rumaysho.com
[1] HR. Tirmidzi, Abu Daud dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih dalam Irwa’ul Gholil no. 9.
[2] Dinukil dari Tawdhihul Ahkam min Bulughil Marom, Syaikh Abdullah bin Abdirrahman Ali Basam, 1/114, Darul Atsar
[3] Lihat penjelasan pembagian air ini di kitab Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/103-104, Al Maktabah At Taufiqiyah. Pembagian seperti ini juga dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin dalam Syarhul Mumthi' dan Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa’di.
[4] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/104.
[5] HR. Bukhari no. 187.
[6] Fathul Bari, Ibnu Hajar Al Asqolani, 1/295, Darul Ma'rifah, Beirut.
[7] HR. Bukhari no. 189.
[8] Fathul Bari, 1/296.
[9] HR. Abu Daud no. 130. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[10] HR. Bukhari no. 194.
[11] HR. Bukhari no. 193.
[12] HR. Muslim no. 323.
[13] Al Awsath, Ibnul Mundzir, 1/254, Mawqi' Jaami' Al Hadits.
[14] Majmu' Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 20/519, Darul Wafa'.
[15] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/106.
[16] HR. Abu Daud no. 82. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.

[17] Cara kompromi dalil semacam ini ditempuh oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Sayid Sabiq-. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/107, Al Maktabah At Taufiqiyah.

Thursday, April 2, 2015

Waktu Utama untuk Bersiwak

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga akhir zaman.

Siwak adalah nama untuk sebuah kayu yang digunakan untuk menggosok gigi. Atau jika ditinjau dari perbuatannya, siwak adalah menggosok/membersihkan gigi dengan kayu atau sejenisnya untuk menghilangkan kuning dan kotoran gigi, dan juga untuk membersihkan mulut. (Lihat Taisirul ‘Alam, 35)

Sayid Sabiq rahimahullah mengatakan, ”Lebih baik lagi jika yang digunakan untuk menyikat gigi adalah kayu arak yang berasal dari negeri Hijaz, karena di antara khasiatnya yaitu : menguatkan gusi, menghindarkan sakit gigi, memudahkan pencernaan, dan melancarkan buang air kecil. Walaupun demikian, sunnah ini bisa didapatkan dengan segala sesuatu yang dapat menghilangkan kuning gigi dan membersihkan mulut, seperti sikat gigi, dan semacamnya.” (Fiqh Sunnah, I/45). Dan pendapat ini juga dipilih oleh penyusun Shohih Fiqh Sunnah. Wallahu a’lam.

Hukum Bersiwak
Bersiwak hukumnya sunnah (dianjurkan) pada setiap saat, sebagaimana hadits dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” (Shohih, HR. An Nasa’i, Ahmad, dll)
Waktu Utama untuk Bersiwak
Pertama: Ketika berwudhu
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap kali berwudhu.” (HR. Bukhari)
Kedua: Ketika hendak shalat
Dari Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْلَا أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِي أَوْ عَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ مَعَ كُلِّ صَلَاةٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan mereka bersiwak setiap hendak menunaikan shalat.” (HR. Bukhari)
Ketiga: Ketika membaca Al Qur’an
Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu berkata: Kami diperintahkan (oleh Rasulullah) untuk bersiwak dan beliau bersabda,

إن العبد إذا قام يصلي أتاه الملك فقام خلفه يستمع القرآن ويدنو فلا يزال يستمع ويدنو حتى يضع فاه على فيه فلا يقرأ آية إلا كانت في جوف الملك
”Sesungguhnya seorang hamba ketika hendak mendirikan shalat datanglah malaikat padanya. Kemudian malaikat itu berdiri di belakangnya, mendengarkan bacaan Al-Qu’rannya, dan semakin mendekat padanya. Tidaklah dia berhenti dan mendekat sampai dia meletakkan mulutnya pada mulut hamba tadi. Tidaklah hamba tersebut membaca suatu ayat kecuali ayat tersebut masuk ke perut malaikat itu.” (HR. Baihaqi, shohih lighoirihi)
Keempat: Ketika memasuki rumah
Dari Al Miqdam bin Syuraih dari ayahnya, dia berkata,

سَأَلْتُ عَائِشَةَ قُلْتُ بِأَىِّ شَىْءٍ كَانَ يَبْدَأُ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ بَيْتَهُ قَالَتْ بِالسِّوَاكِ.
Aku bertanya pada Aisyah, “Apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lakukan ketika mulai memasuki rumah beliau?” Aisyah menjawab, “Bersiwak.” (HR. Muslim)
Kelima: Ketika bangun untuk shalat malam
Dari Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ يَشُوصُ فَاهُ بِالسِّوَاكِ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam senantiasa apabila hendak shalat malam (tahajjud), beliau membersihkan mulutnya dengan siwak.” (Muttafaqun ‘alaihi, HR. Bukhari dan Muslim)
Cara Bersiwak
Cara bersiwak adalah dengan menggosokkan siwak di atas gigi dan gusinya. Di mulai dari sisi sebelah kanan dan sisi sebelah kiri. Dan memegang siwak dengan tangan kanan. (Lihat Al Mulakhos Al Fiqhiyyah)
Bolehnya Bersiwak Ketika Berpuasa Baik Pagi Maupun Sore Hari
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
“Dan Tuhanmu tidaklah lupa.” (Maryam : 64) (Lihat Tamamul Minnah dan Al Wajiz fii fiqh Sunnah wal Kitab Al ‘Aziz)
Para pakar fiqih telah bersepakat tentang bolehnya bersiwak untuk orang yang berpuasa kecuali Syafi’iyah dan Hanabilah di mana mereka menganjurkan untuk meninggalkan bersiwak setelah waktu zawal (waktu matahari tergelincir ke barat). (Lihat Shohih Fiqih Sunnah, 2/117)
Namun, yang lebih tepat karena tidak ada dalil yang melarang untuk bersiwak, maka hal ini dibolehkan di setiap waktu ketika berpuasa.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.” (Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/259, Asy Syamilah). Dalil dari hal ini yaitu hadits dari ‘Aisyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai keutamaan bersiwak,
السِّوَاكُ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.” (Diriwayatkan oleh Bukhari [no.27] tanpa sanad. Juga diriwayatkan oleh Asy Syafi’i, Ahmad, Ad Darimi, An Nasa’i. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shohih)
Catatan:
Penjelasan di atas adalah mengenai bersiwak yaitu menggunakan kayu siwak. Adapun menyikat gigi menggunakan pasta gigi yang -tentunya memiliki rasa (menyegarkan) dan beraroma-, maka seharusnya tidak dilakukan sering-sering karena siwak tentu saja berbeda dengan sikat gigi yang beraroma.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah Ta’ala ditanya : Apa hukum menggunakan sikat gigi bagi orang yang berpuasa di siang hari Ramadhan?
Syaikh rahimahullah menjawab : Menggunakan sikat gigi ketika puasa tidaklah masalah jika tidak masuk ke dalam perut. Akan tetapi lebih baik sikat gigi tidak digunakan ketika puasa karena sikat gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakkannya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa”. Maka lebih utama adalah orang yang berpuasa tidak menyikat gigi (dengan pasta). Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya. (Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262)
Demikian pembahasan mengenai siwak. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat.
Disusun di Pangukan, Sleman, 4 Robi’ul Akhir 1430 H
****
Penulis:Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Tuesday, March 31, 2015

Apakah Orang yang Bertaubat Wajib Mandi?

Pertanyaan:
Apakah orang yang taubat dengan sebenar-benarnya diwajibkan untuk mandi? Lalu adakah do’a yang harus atau bacaan yang diucapkan ketika itu?
Jawaban:
Alhamdulillahi wahdah, wash sholatu was salaamu ‘ala rosulihi wa alihi wa shohbihi … Wa ba’du:
Yang benar, tidak diwajibkan untuk mandi setelah bertaubat dengan sebenar-benarnya (taubat shodiqoh) dari maksiat yang pernah dilakukan. Karena hukum asalnya, hal ini tidak disyariatkan. Kami pun tidak mengetahui ada dalil yang menyelisihi hukum asal ini. Kecuali jika seseorang bertaubat dari kekafiran yang pernah dia lakukan (seperti murtad, pen), maka pada saat ini disyariatkan bagi orang yang kembali berislam untuk melakukan mandi wajib. Alasannya, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memeritahkan Qhois bin ‘Ashim ketika dia masuk Islam untuk mandi wajib, sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, dan dishohihkan oleh Ibnus Sakan.
Yang menandatangani fatwa ini:
Anggota : Abdullah bin Qu’ud, Abdullah bin Ghodyan
Wakil Ketua : Abdur Rozaq ‘Afifi
Ketua : Abdul ‘Aziz bin Abdillah bin Baz
Soal pertama dari Fatwa no. 6149 Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah lil Buhuts wal Ifta’ (Komisi Tetap Urusan Riset dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi)
Muhammad Abduh Tuasikal

Pangukan, Sleman, 17 Muharram 1430 H

Sunday, March 29, 2015

Beberapa Fatwa Seputar Kucing

Maksud judul pada posting kali ini bukanlah untuk sekedar mengenal kucing, namun kita akan lebih jauh meninjau hewan yang satu ini dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Dari Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إِنَّهَا مِنَ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ وَالطَّوَّافَاتِ
“Kucing itu tidaklah najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita. ” (HR. At Tirmidzi, Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, Ad Darimi, Ahmad, Malik. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 173 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

:: Beberapa pelajaran yang dapat diambil dari hadits di atas ::
Pelajaran Pertama
Kucing adalah binatang yang suci, namun haram untuk dimakan. Ada suatu kaedah: “Segala hewan yang haram dimakan termasuk hewan yang najis.” Namun, dalam penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ada pula hewan yang tidak dikatakan najis yang menyelisihi kaedah tadi. Kucing memang pada asalnya najis karena kucing haram untuk dimakan. Namun, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan alasan yang tidak kita temui pada hewan lainnya yaitu karena kucing adalah hewan yang biasa kita temui di sekitar kita.
Jadi, faedah dari hadits ini: semua hewan yang haram dimakan dihukumi najis kecuali hewan yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam hukumi suci dengan alasan yang tidak ditemui pada hewan lainnya
.
Pelajaran kedua
Kucing memang tidak najis. Namun apakah ini berlaku secara umum? Jawabannya: Tidak. Kucing memang tidak najis pada: air liurnya, segala sesuatu yang keluar dari hidungnya, keringat, bekas minum dan bekas makannya. Namun, pada kotoran dan kencing dari hewan tersebut tetap dihukumi najis. Begitu pula darahnya dihukumi najis. Alasannya, karena kotoran, kencing dan darah pada hewan yang haram dimakan juga dihukumi najis. Jadi, segala sesuatu yang berasal dari bagian dalam tubuh dari hewan yang haram dimakan dihukumi najis, seperti kencing, kotoran, darah, muntahan dan semacamnya.
Pelajaran ketiga
Jika kucing minum dari suatu wadah yang berisi air –sebagaimana diceritakan sebab Abu Qotadah menyebutkan hadits ini-, maka air tadi tidak dihukumi najis, baik kucing tersebut meminumnya dalam jumlah sedikit ataupun banyak. Alasannya, karena air yang ada di bejana Abu Qotadah tadi hanya sedikit yang digunakan untuk berwudhu.
Pelajaran keempat
Tidak ada beda apakah kucing tersebut memakan sesuatu yang najis (semacam bangkai) dalam jumlah yang banyak atau sedikit. Kenapa? Karena kemutlaqan ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi. Nabi ucapkan dalam bentuk umum: “Kucing tidaklah najis”. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencakup baik kucing tadi makan sesuatu yang najis beberapa saat tadi atau sudah dalam waktu yang lama. Jadi tidak boleh dikatakan, “Tadi saya lihat kucing tersebut makan tikus, lalu sekarang minum air dari bejana tersebut. Maka air ini kita hukumi najis.” Hal ini tidak demikian.
Pelajaran kelima
Dari hadits ini, maka benarlah kaedah yang biasa disebutkan oleh para ulama: “Al masyaqqoh tajlibut taisir (Karena adanya kesulitan, datanglah kemudahan)”. Allah telah meniadakan najis dari kucing karena kesulitan yang diperoleh yang sulit kita hindari yaitu kucing adalah hewan yang selalu kita temui dan berada di sekitar kita. Seandainya kucing dihukumi najis padahal dia sering meminum air, susu atau memakan makanan yang ada di sekitar kita, maka ini akan sangat menyulitkan. Oleh karena itu, karena adanya kesulitan semacam ini, datanglah kemudahan yaitu kucing tidaklah najis.
Pelajaran keenam
Najis yang sulit dihindari dimaafkan jika kita terkena najis tersebut. Sebagaimana pendapat sebagian ulama yang menilai darah itu najis (padahal menurut pendapat yang lebih kuat, darah tidaklah najis), mereka mengatakan: darah yang jumlahnya sedikit selain yang keluar dari kemaluan dan dubur dimaafkan.
Pelajaran ketujuh
Tikus juga termasuk hewan yang suci, namun haram dimakan. Alasannya sama dengan kucing, karena tikus adalah hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekitar kita.
Pelajaran kedelapan
Penjelasan dalam hadits ini menunjukkan kepada kita bahwa Allah sangat menyayangi makhluk-Nya. Di saat kita mendapatkan kesulitan dan sulit dihindari, Allah akhirnya memberi keringanan kepada kita. Bisa dikatakan demikian karena sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits ini: “Kucing ini tidaklah najis. Sesungguhnya kucing merupakan hewan yang sering kita jumpai dan berada di sekeliling kita”.
Jadi, syariat Islam dibangun di atas rahmat, kemudahan dan penuh toleran. Kaedah ini dapat pula kita telusuri pada firman Allah:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (QS. Al Baqarah: 185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

“Sesungguhnya agama itu mudah. Tidak ada seorangpun yang membebani dirinya di luar kemampuannya kecuali dia akan dikalahkan.” (HR. Bukhari no. 39)
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menasehati para sahabat yang ingin menghardik Arab Badui,
فَإِنَّمَا بُعِثْتُمْ مُيَسِّرِينَ ، وَلَمْ تُبْعَثُوا مُعَسِّرِينَ
“Sesungguhnya kalian diutus untuk mendatangkan kemudahan. Kalian bukanlah diutus untuk mendatangkan kesulitan.” (HR. Bukhari no. 6128)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا ، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا
“Berilah kemudahan, janganlah membuat sulit. Berilah kabar gembira, janganlah membuat orang lari.” (HR. Bukhari no. 69)
Jika orang melihat sesuatu pada kita yang dirasa asing, maka hendaklah kita menghilangkan keanehan yang dia anggap sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Qotadah tadi ketika Kabsyah merasa aneh dengan apa yang dia lakukan.
Demikian apa yang kita kaji dan kita gali dari hadits ini. Semoga yang sedikit ini, bisa menambah ilmu kita dan semoga bisa membuahkan amal sholeh.
Alhamdulillallahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
Rujukan:
Fathu Dzil Jalali Wal Ikrom bisyarh Bulughil Marom, Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin, 1/107-114, terbitan: Madarul Wathon Lin Nasyr.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

Pangukan, Sleman, 16 Shofar 1430 H

Friday, March 27, 2015

Mari Menunaikan Zakat

Sebentar lagi Ramadhan akan berakhir, suatu kewajiban yang harus ditunaikan oleh orang yang berpuasa adalah zakat fithri. Berikut adalah beberapa penjelasan mengenai zakat fithri dan beberapa kesalahan di dalamnya.

Hikmah Disyari’atkan Zakat Fithri
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan orang-orang miskin.” (HR. Abu Daud no. 1609 dan Ibnu Majah no. 1827. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Selain itu juga, zakat fithri akan mencukupi kaum fakir dan miskin sehingga tidak meminta-minta pada hari raya ‘idul fithri. Dengan ini, mereka dapat bersenang-senang dengan orang kaya pada hari tersebut. Syari’at ini juga bertujuan agar kebahagiaan ini merata, dapat dirasakan oleh semua kalangan. (Lihat Minhajul Muslim, 23, Darus Salam dan Majelis Syahri Ramadhan, 142, Darul ‘Aqidah)
Hukum Zakat Fithri
Zakat Fithri adalah shodaqoh yang wajib ditunaikan oleh setiap muslim pada hari berbuka (tidak berpuasa lagi) dari bulan Ramadhan. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa.” (HR. Bukhari no. 1503).
Catatan : Perlu dipehatikan bahwa shogir (anak kecil) dalam hadits ini tidak termasuk di dalamnya janin. Karena ada sebagian ulama seperti Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa janin juga wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini kurang tepat karena janin tidaklah disebut shogir dalam bahasa Arab juga secara ‘urf (anggapan orang Arab) (Lihat Shifat Shaum Nabi, 102). Namun, jika ada yang mau membayarkan zakat fithri untuk janin tidaklah mengapa karena dahulu sahabat Utsman bin ‘Affan pernah mengeluarkan zakat fithri bagi janin dalam kandungan. (Lihat Majelis Syahri Ramadhan, 142)
Yang Berkewajiban Membayar Zakat Fithri
Zakat fithri ini wajib ditunaikan oleh :
[1] Setiap muslim sedangkan orang kafir tidak wajib untuk menunaikannya, namun mereka akan dihukum di akhirat karena tidak menunaikannya,
[2] Yang mampu mengeluarkan zakat fithri. Menurut mayoritas ulama, batasan mampu di sini adalah mempunyai kelebihan makanan bagi dirinya dan yang diberi nafkah pada malam dan siang hari ‘ied. Jadi apabila keadaan seseorang seperti ini berarti dia mampu dan wajib mengeluarkan zakat fithri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa meminta-minta, padahal dia memiliki sesuatu yang mencukupinya, maka sesungguhnya dia telah mengumpulkan bara api.” Mereka berkata, ”Wahai Rasulullah, bagaimana ukuran mencukupi tersebut?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Seukuran makanan yang mengenyangkan untuk sehari-semalam.” (HR. Abu Daud no. 1435. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih Abi Daud) (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/80)
Bagaimana dengan anak dan istri yang menjadi tanggungan suami, apakah perlu mengeluarkan zakat sendiri-sendiri?
Menurut An Nawawi, kepala keluarga wajib membayar zakat fithri keluarganya. Bahkan menurut Imam Malik, Syafi’i dan mayoritas ulama wajib bagi suami untuk mengeluarkan zakat istrinya karena istri adalah tanggungan nafkah suami. (Syarh Nawawi ‘ala Muslim, 3/417, Asy Syamilah).
Kapan Seseorang Mulai Terkena Kewajiban Membayar Zakat Fithri?
Misalnya adalah apabila seseorang meninggal satu menit sebelum terbenamnya matahari pada malam hari raya, maka dia tidak punya kewajiban dikeluarkan zakat fithri. Namun, jika ia meninggal satu menit setelah terbenamnya matahari maka wajib untuk mengeluarkan zakat fithri darinya. Begitu juga apabila ada bayi yang lahir setelah tenggelamnya matahari maka tidak wajib dikeluarkan zakat fithri darinya, tetapi dianjurkan sebagaimana perbuatan Utsman di atas. Namun, jika bayi itu terlahir sebelum matahari terbenam, maka zakat fithri wajib untuk dikeluarkan darinya (Lihat Majelis Syahri Ramadhan, 142).
Macam Zakat Fithri
Benda yang dijadikan zakat fithri adalah berupa makanan pokok, baik itu kurma, gandum, beras, kismis, keju, dsb dan tidak dibatasi pada kurma atau gandum saja (Lihat Majelis Syahri Ramadhan, 142 & Shohih Fiqh Sunnah, II/82). Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Malikiyah, Syafi’iyah, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, namun hal ini diselisihi oleh Hanabilah. Adapun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri dengan satu sho’ kurma atau gandum karena ini adalah makanan pokok penduduk Madinah. Seandainya itu bukan makanan pokok mereka tetapi mereka mengkonsumsi makanan pokok lainnya, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu tidak akan membebani mereka mengeluarkan zakat fithri yang bukan makanan yang biasa mereka makan. Sebagaimana juga dalam membayar kafaroh diperintahkan seperti ini. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ
“Maka kafaroh (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu.” (QS. Al Maidah [5] : 89). Dan zakat fithri merupakan bagian dari kafaroh. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/82)
Ukuran Zakat Fithri
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Umar di atas bahwa zakat fithri adalah seukuran satu sho’ kurma atau gandum. Satu sho’ dari semua jenis ini adalah seukuran ‘empat cakupan penuh telapak tangan yang sedang’ sebagaimana yang disebutkan dalam Kamus Al Muhith. Dan apabila ditimbang akan mendekati ukuran 3 kg. Jadi kalau di Jawa makanan pokoknya adalah beras, maka ukuran zakat fithrinya sekitar 3 kg dan inilah yang lebih hati-hati. (Lihat pendapat Syaikh Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa-nya V/92 atau Majalah Al Furqon Th. I, ed 2)
Bolehkah Mengeluarkan Zakat Fithri dengan Uang ?
Berikut kami sarikan fatwa Syaikh ‘Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz selaku Ketua Umum Dewan Pengurus Riset Ilmiah, Fatwa, Dakwah dan Pembimbingan Kerajaan Saudi Arabia (Ro’is Al ‘Aam Li-idarot Al Buhuts Al ‘Ilmiyah wal Ifta’ wad Da’wah wal Irsyad).
Alhamdulillahi robbil ‘alamin wa shollallahu wa sallam ‘ala ‘abdihi wa rosulihi Muhammad wa ‘ala alihi wa ashhabihi ajma’in
Wa ba’du : Beberapa saudara kami pernah menanyakan kepada kami mengenai hukum membayar zakat fithri dengan uang.
Jawabannya : Tidak ragu lagi bagi setiap muslim yang diberi pengetahuan bahwa rukun Islam yang paling penting dari agama yang hanif (lurus) ini adalah syahadat ‘Laa ilaha illallah wa anna Muhammadar Rasulullah’. Konsekuensi dari syahadat laa ilaha illallah ini adalah seseorang harus menyembah Allah semata. Konsekuensi dari syahadat ‘Muhammad adalah Rasul-Nya’ yaitu seseorang hendaklah menyembah Allah hanya dengan menggunakan syari’at yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Telah kita ketahui bersama) bahwa zakat fithri adalah ibadah berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Dan hukum asal ibadah adalah tauqifi (harus berlandaskan dalil). Oleh karena itu, setiap orang hanya dibolehkan melaksanakan suatu ibadah dengan menggunakan syari’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah telah mengatakan mengenai Nabi-Nya ini,
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. An Najm [53] : 3-4)
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Dalam riwayat Muslim, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan ajaran kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan mengenai penunaian zakat fithri –sebagaimana terdapat dalam hadits yang shohih- yaitu ditunaikan dengan 1 sho’ bahan makanan, kurma, gandum, kismis, atau keju. Bukhari dan Muslim –rahimahumallah- meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar –radhiyallahu ‘anhuma-, beliau berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - زَكَاةَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ عَلَى الْعَبْدِ وَالْحُرِّ ، وَالذَّكَرِ وَالأُنْثَى ، وَالصَّغِيرِ وَالْكَبِيرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ ، وَأَمَرَ بِهَا أَنْ تُؤَدَّى قَبْلَ خُرُوجِ النَّاسِ إِلَى الصَّلاَةِ
”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri berupa satu sho’ kurma atau satu sho’ gandum bagi setiap muslim yang merdeka maupun budak, laki-laki maupun perempuan, anak kecil maupun dewasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menunaikan zakat ini sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘ied.” (HR. Bukhari no. 1503).
Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
كُنَّا نُعْطِيهَا فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ ، أَوْ صَاعًا مِنْ زَبِيبٍ
“Dahulu di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menunaikan zakat fithri berupa 1 sho’ bahan makanan, 1 sho’ kurma, 1 sho’ gandum atau 1 sho’ kismis.” (HR. Bukhari no. 1437 dan Muslim no. 985)
Dalam riwayat lain dari Bukhari no. 1506 dan Muslim no. 985 disebutkan,
أَوْ صَاعًا مِنْ أَقِطٍ
“Atau 1 sho’ keju.”
Inilah hadits yang disepakati keshohihannya dan beginilah sunnah (ajaran) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menunaikan zakat fithri. Telah kita ketahui pula bahwa ketika pensyari’atan dan dikeluarkannya zakat fithri ini sudah ada mata uang dinar dan dirham di tengah kaum muslimin –khususnya penduduk Madinah (tempat domisili Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen)-. Namun, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan kedua mata uang ini dalam zakat fithri. Seandainya mata uang dianggap sah dalam membayar zakat fithri, tentu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan hal ini. Alasannya, karena tidak boleh bagi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan penjelasan padahal sedang dibutuhkan. Seandainya beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membayar zakat fithri dengan uang, tentu para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- akan menukil berita tersebut. Kami juga tidak mengetahui ada seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang membayar zakat fithri dengan uang. Padahal para sahabat adalah manusia yang paling mengetahui sunnah (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan orang yang paling bersemangat dalam menjalankan sunnahnya. Seandainya ada di antara mereka yang membayar zakat fithri dengan uang, tentu hal ini akan dinukil sebagaimana perkataan dan perbuatan mereka yang berkaitan dengan syari’at lainnya dinukil (sampai pada kita).
Allah Ta’ala berfirman,
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”(QS. Al Ahzab : 21)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah [9] : 100)
Dari penjelasan kami di atas, maka jelaslah bagi orang yang mengenal kebenaran bahwa menunaikan zakat fithri dengan uang tidak diperbolehkan dan tidak sah karena hal ini telah menyelisihi berbagai dalil yang telah kami sebutkan. Aku memohon kepada Allah agar memberi taufik kepada kita dan seluruh kaum muslimin untuk memahami agamanya, agar tetap teguh dalam agama ini, dan waspada terhadap berbagai perkara yang menyelisihi syari’at Islam. Sesungguhnya Allah Maha Pemurah lagi Maha Mulia. Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 14/208-211)
Peringatan : Melalui penjelasan di atas kami rasa sudah cukup jelas bahwa pembayaran zakat fithri dengan uang tidaklah tepat. Inilah pendapat mayoritas ulama termasuk madzhab Syafi’iyah yang dianut oleh kaum muslimin Indonesia. An Nawawi mengatakan, “Mayoritas pakar fikih tidak membolehkan membayar zakat fithri dengan qimah (dicocokkan dengan harganya), yang membolehkan hal ini hanyalah Abu Hanifah.” (Syarh Muslim, 3/417). Namun, sayangnya kaum muslimin Indonesia yang mengaku bermadzhab Syafi’i menyelisihi imam mereka dalam masalah ini. Malah dalam zakat fithri, mereka manut madzhab Abu Hanifah. Ternyata dalam masalah ini, kaum muslimin Indonesia tidaklah konsisten dalam bermadzhab.
Kami hanya bisa menghimbau kepada saudara-saudara kami selaku Badan Pengurus Zakat agar betul-betul memperhatikan hal ini. Tidakkah kita merindukan syi’ar Islam mengenai zakat ini nampak? Dahulu, di malam hari Idul Fithri, banyak kaum muslimin berbondong-bondong datang ke masjid-masjid dengan menggotong beras. Namun, syiar ini sudah hilang karena tergantikan dengan uang. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan memudahkan mereka mengikuti syari’at-Nya. (Perkataan Nabi Syu’aib) : ‘Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.’
Penerima Zakat Fithri
Penerima zakat fithri hanya dikhususkan untuk orang miskin dan bukanlah dibagikan kepada 8 golongan penerima zakat (sebagaimana terdapat dalam surat At Taubah:60). Inilah pendapat Malikiyah dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang menyelisihi mayoritas ulama. Pendapat ini lebih tepat karena lebih cocok dengan tujuan disyariatkannya zakat fithri yaitu untuk memberi makan orang miskin sebagaimana disebutkan dalam hadits Ibnu Abbas di atas,” ... untuk memberikan makan orang-orang miskin”. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/85)
Waktu Mengeluarkan Zakat Fithri
Zakat fithri disandarkan kepada kata ‘fithri (berbuka artinya tidak berpuasa lagi)’. Oleh karena itu, zakat fithri ini dikaitkan dengan waktu fithri tersebut. Ini berarti zakat fithri tidaklah boleh didahulukan di awal Ramadhan.
Perlu diketahui bahwa waktu pembayaran zakat itu ada dua macam : Pertama adalah waktu utama (afdhol) yaitu mulai dari terbit fajar pada hari ‘idul fithri hingga dekat waktu pelaksanaan shalat ‘ied. Dan kedua adalah waktu yang dibolehkan yaitu satu atau dua hari sebelum ‘ied sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Ibnu Umar. (Lihat Fatawal Aqidah wa Arkanil Islam, 640 & Minhajul Muslim, 231)
Ibnu Abbas berkata,
فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلاَةِ فَهِىَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلاَةِ فَهِىَ صَدَقَةٌ مِنَ الصَّدَقَاتِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithri untuk mensucikan orang yang berpuasa dari perkara yang sia-sia dan perkataan kotor, sekaligus untuk memberikan makan untuk orang-orang miskin. Barangsiapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘ied, maka itu adalah zakat yang diterima. Namun, barangsiapa yang menunaikannya setelah salat ‘ied maka itu hanya sekedar shodaqoh.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah. Dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud, Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan)
Namun kewajiban ini tidak gugur di luar waktunya. Kewajiban ini harus tetap ditunaikan walaupun statusnya hanya sedekah. Abu Malik Kamal (Penulis Shohih Fiqh Sunnah) mengatakan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama yaitu kewajiban membayar zakat fithri tidaklah gugur apabila keluar waktunya. Hal ini masih tetap menjadi kewajiban orang yang punya kewajiban zakat karena ini adalah utang yang tidak bisa gugur kecuali dengan dilunasi dan ini adalah hak sesama anak Adam. Adapun hak Allah, apabila hak tersebut diakhirkan hingga keluar waktunya maka tidak dibolehkan dan tebusannya adalah istigfar dan bertaubat kepada-Nya. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, II/84). Wallahu a’lam bish showab.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
***
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel http://rumaysho.com

Wednesday, March 25, 2015

10 Pelajaran dari Arab Badui yang Kencing di Masjid Nabi

Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau berkata, Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut.
Suku Badui adalah sebuah suku pengembara yang ada di Jazirah Arab. Sebagaimana suku-suku pengembara lainnya, suku Badui berpindah dari satu tempat ke tempat lain sembari mengggembalakan kambing.
Orang Arab badui memang terkenal sangat jauh dari ilmu agama (alias jahil). Mereka sering bertingkah aneh. Namun, karena tingkahnya inilah yang membuat para sahabat sering dapat ilmu baru. Sehingga sebagian mereka berharap-harap agar orang badui ini selalu datang dan membuat ulah sehingga mereka bisa menggali ilmu dari sikap Nabi shallallahu alaihi wa sallam terhadap orang Badui tersebut. Berikut kami sajikan kisah mengenai seorang badui yang kencing di masjid Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Semoga dari kisah ini kita bisa mendapatkan faedah ilmu syari yang berharga.
Dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, beliau berkata, Seorang Arab Badui pernah memasuki masjid, lantas dia kencing di salah satu sisi masjid. Lalu para sahabat menghardik orang ini. Namun Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang tindakan para sahabat tersebut. Tatkala orang tadi telah menyelesaikan hajatnya, Nabi shallallahu alaihi wa sallam lantas memerintah para sahabat untuk mengambil air, kemudian bekas kencing itu pun disirami. (HR. Bukhari no. 221 dan Muslim no. 284)
Silakan melihat teks hadits ini di kitab Bulughul Marom karya Ibnu Hajar. Berikut adalah pelajaran berharga yang disarikan dari penjelasan Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin dalam Fathu Dzil Jalali wal Ikrom Syarh Bulughil Marom, 1/117-120.
FAEDAH PERTAMA
Hadits ini menunjukkan bahwa air kencing itu najis karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk membersihkan tanah (lantai masjid) yang terkena kencing tadi. Oleh karena itu, kencing dan kotoran yang keluar dari dalam tubuh manusia adalah najis. Namun apakah semuanya najis, termasuk juga darah?
Adapun darah manusia terdapat perselisihan pendapat di kalangan ulama. Namun, yang lebih tepat darah manusia tidaklah najis. Karena tidak ada dalil Al Quran dan Hadits yang menunjukkan najisnya hal ini. OIeh karena itu, kita kembalikan ke hukum asal bahwa setiap benda adalah suci sampai kita menemukan dalil yang menyatakan bahwa benda tersebut najis. Namun, mayoritas ulama tidak berpendapat demikian. Mereka menilai bahwa darah tetaplah najis, namun jika sedikit dimaafkan. Barangsiapa yang ingin berhati-hati dari perselisihan yang ada ini, maka jika darah tersebut dicuci maka tidaklah mengapa.
FAEDAH KEDUA
Wajibnya membersihkan lantai masjid dari najis, karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat untuk menyiramkan air pada najis tersebut.
FAEDAH KETIGA
Terdapat larangan kencing di masjid karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mengingkari pengingkaran para sahabat terhadap orang badui tadi. Beliau shallallahu alaihi wa sallam cuma melarang untuk tidak menghardiknya. Sehingga ini menunjukkan bahwa kencing di masjid terlarang.
FAEDAH KEEMPAT
Kemungkaran itu wajib diingkari dengan segera sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat tadi. Namun jika mengakhirkan mengingkari kemungkaran ada maslahat, maka itu lebih baik, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Beliau shallallahu alaihi wa sallam membiarkan arab badui tadi kencing di masjid karena memang di situ ada maslahat.
Oleh karena itu, jika kita melihat seseorang berada di kubur Nabi shallallahu alaihi wa sallam kemudian dia menujukan doa pada beliau shallallahu alaihi wa sallam semacam dia mengatakan : Ya Muhammad, berikanlah aku rizki! ; apakah dalam kondisi semacam ini kita boleh langsung mengingkari perbuatan orang ini dengan mengatakan, "Engkau musyrik, engkau telah berbuat syirik, engkau telah berdoa kepada selain Allah.?" Jawabannya : Jangan lakukan seperti itu. Bahkan kita biarkan hingga dia selesai berdoa lalu kita berdialog dengannya dengan cara yang baik dan penuh hikmah. Mungkin kita bisa katakan padanya, "Akhi, siapakah yang mampu mengabulkan doa, Rasulullah ataukah Allah Taala?" Pasti dia akan mengatakan, "Allah". Lalu setelah itu kita katakan padanya, "Jika demikian, mintalah doa pada Allah saja, janganlah engkau menujukan satu doa pun pada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Tujukanlah doamu pada Allah semata karena itu memang lebih baik padamu daripada engkau berdoa kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Karena seorang Rasul tidaklah bisa mendatangkan manfaat atau bahaya, juga tidak mengetahui perkara ghoib". Jika orang ini sudah merasa jelas dengan penjelasan ini, barulah kita katakan bahwa yang dia lakukan adalah kesyirikan yang dapat menjadikan seseorang menjadi penghuni neraka.
... Masya Allah ... Inilah cara berdakwah yang bijak dan mudah diterima yang dicontohkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau dan melapangkan kuburnya.
FAEDAH KELIMA
Nabi shallallahu alaihi wa sallam memiliki sikap yang sangat bagus dalam menyikapi umatnya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam melarang para sahabat untuk menghardik orang ini karena ada bahaya yang ditimbulkan di balik itu. Di antara bahayanya adalah akan memudhorotkan orang ini disebabkan kencing yang diperintahkan dihentikan seketika. Bahaya lainnya adalah aurat orang ini bisa terbuka karena kaget, sehingga berbalik, kemudian para sahabat kemungkinan bisa melihat auratnya. Kalau dia masih tetap kencing lalu dipaksa berhenti, maka celananya kemungkinan bisa terkena najis. Bahkan najisnya akan meluas di tempat dia kencing, namun bisa mengena ke bagian masjid lainnya.
FAEDAH KEENAM
Membersihkan najis yang ada di masjid haruslah dilakukan dengan segera. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan menggunakan air dalam hal ini. Namun sebenarnya jika kencing tadi dibiarkan begitu saja, maka dia akan hilang dengan sendirinya karena tertiup angin atau terkena terik matahari. Namun, karena tujuannya ingin agar najis hilang dengan segera, maka digunakanlah air.
FAEDAH KETUJUH
Membersihkan najis yang ada di masjid, hukumnya adalah fardhu kifayah, yaitu jika sudah mencukupi yang melakukan hal ini, maka orang lain gugur kewajibannya. Kenapa bisa fardhu kifayah? Karena Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan untuk membersihkan kencing tadi, namun beliau tidak bareng dengan mereka membersihkannya. Jika hukum melakukan hal ini adalah fardhu ain (wajib bagi setiap orang), maka tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam yang lebih dahulu membersihkan najis tersebut dari sahabat lainnya. Oleh karena itu, barangsiapa melihat najis di masjid maka dia wajib membersihkannya. Jika tidak mampu, maka dia wajib meminta pada orang lain untuk membersihkan najis yang di masjid tersebut.
FAEDAH KEDELEPAN
Dari hadits ini dapat kita simpulkan sebuah kaedah yang sudah masyhur di tengah-tengah para ulama yaitu jika kemungkaran tidak dapat dihilangkan kecuali dengan kemungkaran lain yang lebih besar, maka kemungkaran ini tidak boleh diingkari. Ini adalah kaedah yang sudah sangat jelas. Jika kita menghilangkan suatu kemungkaran, namun malah mendatangkan kemungkaran yang lebih besar maka ini sama saja kita melakukan kemungkaran yang pertama tadi dan kita menambah kemungkaran yang baru lagi. Dan tambahan ini tidak diragukan lagi adalah maksiat.
FAEDAH KESEMBILAN
Selayaknya bagi orang yang ingin melarang suatu kemungkaran, dia menjelaskan sebab kenapa dia melarang hal itu. Lihatlah Nabi shallallahu alaihi wa sallam tatkala melarang orang badui ini, beliau shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan bahwa hal ini dilarang karena masjid adalah tempat yang tidak diperbolehkan terdapat kotoran dan najis. Masjid adalah tempat untuk berdzikir kepada Allah dan melaksanakan shalat. Sehingga dengan demikian, orang badui yang sebelumnya belum tahu, akhirnya menjadi tahu.
FAEDAH KESEPULUH
Hendaklah setiap orang tatkala berinteraksi dengan lainnya, dia menyikapinya sesuai dengan keadaannya. Orang badui ini bukanlah penduduk Madinah. Jika penduduk Madinah yang melakukan demikian tentu Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan menyikapinya berbeda. Akan tetapi Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyikapi orang ini sesuai dengan keadaannya yang jahil dan kurang paham agama. Demikian faedah yang sangat berharga dari orang badui yang bertamu ke masjid Nabi. Semoga faedah ini bermanfaat.
Ya Allah berikanlah pada kami ilmu yang bermanfaat, rizki yang thoyib dan amalan yang diterima.
***
Disusun di Gunung Kidul dan dilanjutkan di Pogung Kidul,
22 Dzulqodah 1429 di pagi hari yang penuh berkah

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal