Sedekah tidaklah mungkin mengurangi harta ...
Yakinlah!
Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padaku,
لاَ تُوكِي فَيُوكى عَلَيْكِ
“Janganlah engkau menyimpan harta (tanpa
mensedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan menahan rizki untukmu.”
Dalam riwayat lain disebutkan,
أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي
فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ عَلَيْكِ
“Infaqkanlah hartamu. Janganlah engkau
menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah
akan menghilangkan barokah rizki tersebut[1]. Janganlah menghalangi anugerah
Allah untukmu. Jika tidak, maka Allah akan menahan anugerah dan kemurahan
untukmu.”[2]
Hadits ini dibawakan oleh Yahya bin Syarf An
Nawawi dalam Riyadhus Shalihin pada Bab “Kemuliaan, berderma dan berinfaq”,
hadits no. 559 (60/16).
Beberapa faedah hadits:
Pertama: Hadits di atas memberikan motivasi untuk
berinfaq.[3] Bukhari sendiri membawakan hadits ini dalam Bab “Motivasi untuk
bersedekah (mengeluarkan zakat) dan memberi syafa’at dalam hal itu”. An Nawawi
membuat bab untuk hadits ini “Motivasi untuk berinfaq (mengeluarkan zakat) dan
larangan untuk menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau mensedekahkan).”
Ketiga: Hadits di atas menunjukkan bahwa al jaza’
min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan amalan perbuatan.[4]
Keempat: Ibnu Baththol menerangkan riwayat
pertama di atas dengan mengatakan, “Janganlah engkau menyimpan-nyimpan harta
tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya). Janganlah engkau enggan bersedekah
(membayar zakat) karena takut hartamu berkurang. Jika seperti ini, Allah akan
menahan rizki untukmu sebagaimana Allah menahan rizki untuk para
peminta-minta.”[5]
Kelima: Menyimpan harta yang terlarang adalah
jika enggan mengeluarkan zakat dan sedekah dari harta tersebut. Itulah yang
tercela.[6]
Keenam: Hadits ini menunjukkan larangan enggan
bersedekah karena takut harta berkurang. Kekhawatiran semacam ini adalah sebab
hilangnya barokah dari harta tersebut. Karena Allah berjanji akan memberi
balasan bagi orang yang berinfaq tanpa batasan. Inilah yang diterangkan oleh
Ibnu Hajar Al Asqolani.[7]
Ketujuh: Bukhari dan Muslim sama-sama membawakan
hadits di atas ketika membahas zakat. Ini menunjukkan bahwa yang mesti
diprioritaskan adalah menunaikan sedekah yang wajib (yaitu zakat) daripada
sedekah yang sunnah.
Kedelapan: Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits ini
menunjukkan sedekah (zakat) itu dapat mengembangkan harta. Maksudnya adalah
sedekah merupakan sebab semakin berkah dan bertambahnya harta. Barangsiapa yang
memiliki keluasan harta, namun enggan untuk bersedekah (mengeluarkan zakat),
maka Allah akan menahan rizki untuknya. Allah akan menghalangi keberkahan
hartanya. Allah pun akan menahan perkembangan hartanya.”[8]
Kesembilan: Sedekah tidaklah mengurangi harta.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
“Sedekah tidaklah mengurangi harta.”[9]
Harta tersebut akan diberkahi dan akan
dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya. Kekurangan harta tersebut akan
ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan secara inderawi dan
kebiasaan.
Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin
rahimahullah menerangkan hadits di atas dengan mengatakan, “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan sesuatu berdasarkan hawa nafsunya semata.
Beliau bersabda, “Sedekah tidaklah mungkin mengurangi harta”. Kalau dilihat dari
sisi jumlah, harta tersebut mungkin saja berkurang. Namun kalau kita lihat dari
hakekat dan keberkahannya justru malah bertambah. Boleh jadi kita bersedekah
dengan 10 riyal, lalu Allah beri ganti dengan 100 riyal. Sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ
وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan, maka
Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya.” (QS.
Saba’: 39). Allah akan mengganti bagi kalian sedekah tersebut segera di dunia.
Allah pun akan memberikan balasan dan ganjaran di akhirat. Allah Ta’ala
berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ
سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ
عَلِيمٌ
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 261)”. -Demikian
penjelasan sangat menarik dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah[11]-.
Alhamdulillah, beberapa faedah sangat berharga
telah kita gali dari hadits di atas. Semoga hal ini semakin mendorong kita untuk
mengeluarkan zakat yang nilainya wajib dan sedekah-sedekah lainnya.
Perhatikanlah syarat nishob dan haul setiap harta kita yang berhak untuk
dizakati. Semoga Allah selalu memberkahi harta tersebut.
Namun ingatlah, tetapkanlah niatkan sedekah dan
zakat ikhlas karena Allah dan jangan cuma mengharap keuntungan dunia semata.
Kami mohon pembaca bisa baca artikel menarik lainnya di sini: Amat disayangkan,
banyak sedekah hanya untuk memperlancar rizki.
Semoga penjelasan ini dapat menjadi ilmu
bermanfaat bagi kita sekalian. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumasyho.com
Diselesaikan selepas shalat Maghrib, di
Pangukan-Sleman, 19 Shofar 1431 H
[1] Lihat tafsiran hadits ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari Syarh Shahih
Al Bukhari, 3/300, Darul Ma’rifah, 1379.
[2] HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029,
88.
[3] Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin,
Dr. Musthofa Sa’id Al Khin dkk, hal. 480, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat
belas, tahun 1407 H.
[4] Idem.
[5] Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Baththol,
4/435-436, Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1423 H.
[6] Faedah dari Fathul Bari, 3/300, juga dari
perkataan Ibnu Baththol di atas.
[7] Lihat Fathul Bari, 3/300.
[8] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/436.
[9] HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah.
[10] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/141,
Dar Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.
[11] Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, 2/342, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan
ketiga, 1424 H
No comments:
Post a Comment